Sentuhan Tangan yang Mengubah Karakter: Cerita Perias di Pementasan “Orang-Orang di Tikungan Jalan”

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Purwokerto—Pementasan Jagat Rasa yang digelar oleh Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2023 menghadirkan tiga pementasan drama yang ditampilkan bergiliran pada tanggal 10, 11, dan 12 Desember 2025 di Aula Fakultas Ilmu Budaya Bambang Lelono. Pada hari kedua, pementasan drama “Orang-Orang di Tikungan Jalan” menjadi panggung tempat berbagai karakter diperankan dan dihadirkan dengan emosi serta latar hidup yang khas. Namun sebelum para tokoh tampil di panggung, ada perias yang bekerja di balik layar, menata riasan agar ekspresi mereka terlihat lebih jelas bahkan sebelum dialog dimulai.

Ihat Latipah, salah satu perias dalam pementasan ini, menjadi sosok yang perannya tidak terlihat dari panggung pementasan, tetapi menentukan bagaimana karakter hadir dan dipercaya. Ia bercerita bagaimana setiap proses rias selalu dimulai dari satu hal, “Semuanya mulai dari pembersihan muka dulu dong pastinya,” ujarnya. Dari mulai, primer, foundation, dan kontur menjadi kunci pembentukan karakter. Contohnya aktor perempuan yang berperan menjadi laki-laki, ia menegaskan, “Intinya cara pengaplikasian kontur nya si yang paling berpengaruh dalam proses make up aktor supaya sesuai dengan karakter tokoh yang diperankannya.”

Ketelitian itu meluas ke hal-hal yang tampaknya sepele, seperti bentuk alis atau warna bibir. Ihat menjelaskan bagaimana alis laki-laki dan perempuan tentu berbeda, dan bagaimana bibir karakter perempuan yang harus terlihat seperti laki-laki memerlukan langkah-langkah detail, mulai dari pewarnaan hingga pembentukan garis bibir ulang menggunakan pensil alis. Detail kecil itulah yang membuat perubahan itu tidak sekadar kosmetik, tetapi benar-benar mencerminkan karakter tokoh.

Namun keahlian merias bukan satu-satunya senjata. Bagi Ihat, memahami naskah adalah dasar seluruh pertimbangan kreatif. “Itu kan yang pertama pastinya membaca naskah dulu, harus memahami banget itu naskahnya,” katanya. Karena drama ini berlatar tahun 1990-an, ia melakukan riset tentang riasan dan busana pada era tersebut, memastikan setiap karakter memiliki wujud yang tepat. Misalnya tokoh Surya yang pemabuk harus memiliki area bawah mata gelap, atau tokoh Narko yang digambarkan “gila” membutuhkan tampilan yang acak-acakan.

Kesulitan datang dari area yang berbeda untuk masing-masing karakter. “Yang paling sulit itu kalau aku ini si eyeliner,” kata Ihat mengenai karakter perempuan. Sedangkan untuk karakter laki-laki, terutama perempuan yang harus tampil sebagai laki-laki, ia mengaku tantangannya adalah pengaplikasian kontur yang harus benar-benar pas. Meski begitu, ia tetap menyebut semuanya “masih aman” selama dijalankan dengan ketelitian.

Kerja mereka pun tidak berdiri sendiri. Ada diskusi dengan sutradara, asisten sutradara, hingga aktor menjadi hal yang sering dilakukan. Dalam setiap latihan make up, sesi pemotretan poster, atau latihan rias keseluruhan, selalu ada koreksi. “Ada diskusi, ada perputaran diskusi di situ,” ujarnya. Semua dilakukan untuk menemukan bentuk paling tepat dan cocok dari setiap tokoh.

Lalu, bagaimana ia tahu bahwa riasan yang ia buat sudah “pas”? Ihat berkata sederhana, tetapi tegas perbandingan. “Kita lihat hasil make up yang kita bentuk sama yang perbandingan dari referensi lain itu sudah mirip enggak.” Selain itu, ia juga membutuhkan pendapat sutradara dan tim lain sebagai tolok ukur final.

Selain itu, dalam proses pementasan, perubahan make up hanya dilakukan jika aktor merasa tidak nyaman, bukan karena perubahan adegan. Terkadang hanya butuh touch up saat keringat mengoksidasi riasan. Namun bagi Ihat, hal kecil seperti bentuk alis, warna bibir, dan kontur justru yang paling menentukan hidupnya karakter. “Bentuk alis, warna bibir, dan bentuk kontur,” ujarnya, menjadi tiga hal yang ia sebut berpengaruh besar.

Peran terbesar perias, menurutnya, adalah membantu aktor agar merasa hidup ketika tampil di panggung. Ketika make up dan busana sesuai, aktor menjadi lebih percaya diri dan karakter pun terasa lebih nyata. “Misal gini yang diperankan sebagai orang gila, tapi makeup nya rapi, pasti enggak sesuai dong,” katanya. Di situlah tangan perias berfungsi menciptakan ketidaksempurnaan yang justru sempurna bagi karakter.

Dari sisi penonton, Mutiara merasakan hasil kerja itu secara langsung. Ia mengatakan bahwa hal pertama yang menarik perhatiannya adalah bagaimana hasil rias dan busana langsung mencerminkan latar dan karakter tokoh. Menurutnya, shading pada bagian mata dan pipi, memberi kesan beban hidup khas drama WS Rendra. Make up menjadi garis bawah yang memperkuat ekspresi dan emosi tokoh.

Mutiara menilai riasan itu membuat karakter terasa hidup tanpa berlebihan. Detail wajah keriput dan pewarnaan kulit itu bisa menyampaikan kehidupan dan karakter tokoh. Ia menyebut contoh tokoh yang ditampilkan ada sebagai wanita jalang, atau bagaimana wajah seorang perempuan bisa dipoles menjadi laki-laki yang tampak memikul tekanan sosial. “Itu tuh kayak pas gitu lah,” katanya.

Baginya, make up memiliki peran besar dalam membantu aktor untuk menghidupkan karakter dalam pementasan drama tersebut. Tanpa riasan yang tepat, emosional yang ingin disampaikan aktor bisa terasa sulit tersampaikan. Ia juga melihat bagaimana riasan konsisten sepanjang pertunjukan dan berhasil menegaskan karakter tokoh. Kesimpulannya tegas“ Perias itu berhasil ngebuat karakter itu terlihat sangat sesuai dengan perannya.”

Pada akhirnya, dari balik panggung yang sering dianggap sunyi, ada proses panjang yang memastikan setiap tokoh muncul dengan karakter yang kuat. Riasan bukan sekadar estetika, melainkan bahasa visual yang membantu untuk menyampaikan pesan, emosi, dan kehidupan karakter. Lewat kerja para perias seperti Ihat Latipah, drama Orang-Orang di Tikungan Jalan tidak hanya bercerita lewat dialog, tetapi juga lewat wajah-wajah yang telah dibentuk sedalam karakter itu sendiri.

Di panggung, para aktor membawa kisah cerita. Namun di baliknya, ada tangan-tangan yang bekerja diam-diam untuk memastikan setiap cerita itu hidup. Sentuhan-sentuhan itu mungkin kecil, tetapi justru di situlah karakter menemukan bentuknya dan dari sanalah penonton akhirnya percaya.

Editor: Risma Tri Nurhana

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *