
Purwokerto — Di tengah tuntutan akademik, tekanan organisasi, ekspektasi keluarga, lingkungan sosial, dan perkembangan teknologi yang cepat, banyak mahasiswa berada dalam kondisi mental yang tidak stabil. Deadline, rasa takut gagal, serta kekhawatiran menghadapi masa depan sering membuat mahasiswa kewalahan.
Survei I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) tahun 2022 menunjukkan sekitar 15,5 juta atau 34,9% remaja mengalami masalah kesehatan mental. Kondisi ini mengganggu konsentrasi, menurunkan produktivitas, dan memengaruhi prestasi. Banyak mahasiswa kesulitan menentukan prioritas, sehingga semakin tertekan.
Lalu, apa solusi yang bisa ditempuh?
Jawabannya yaitu stoikisme, filsafat kuno yang dipelopori Zeno dari Citium dan kemudian berkembang melalui tokoh seperti Cicero hingga Marcus Aurelius. Stoikisme kembali populer karena nilai-nilainya dianggap sesuai dengan tantangan masa kini.
Secara sederhana, stoik berarti orang yang sabar dan ikhlas. Menurut Fahruddin Faiz, Dosen Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, stoikisme mengajarkan kita untuk mengendalikan hal-hal yang berada dalam kuasa kita dan menerima hal-hal yang berada di luar kendali. Ia menegaskan bahwa kita tidak dianjurkan menghabiskan energi untuk memikirkan hal yang tidak bisa kita ubah.
Senada dengan itu, Ferry Irwandi melalui kanal YouTube pribadinya menjelaskan bahwa stoikisme membagi hidup menjadi dua dimensi: internal dan eksternal. Dimensi internal adalah pengendalian diri, pikiran, dan emosi. Dimensi eksternal mencakup keadaan yang tidak sepenuhnya dapat kita atur, seperti sikap orang lain atau situasi tertentu.
Stoikisme mengingatkan bahwa hidup selalu menghadirkan hal yang berada di luar kendali kita, seperti nilai ujian, reaksi dosen, dinamika pertemanan, hingga peluang karier. Namun, mahasiswa tetap memiliki kendali atas satu hal penting: cara merespons setiap keadaan. Menyadari batas kendali ini membuat pikiran lebih ringan dan tekanan terasa berkurang.
Dalam konteks kesehatan mental, stoikisme menawarkan prinsip yang sederhana tetapi efektif. Pertama, ia mengajak mahasiswa berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Alih-alih terpaku pada pencapaian teman di media sosial, stoikisme mendorong kita fokus pada perkembangan diri.
Kedua, stoikisme mengubah cara pandang terhadap kegagalan. Kegagalan bukan akhir, melainkan proses belajar. Perspektif ini membuat mahasiswa lebih tangguh, tidak mudah goyah, dan mampu bangkit ketika dihadapkan pada situasi sulit.
Penting dipahami bahwa stoikisme bukan tentang memendam perasaan atau berpura-pura kuat. Sebaliknya, stoikisme membantu mahasiswa mengenali emosi tanpa membiarkannya mendominasi. Cara ini mendukung proses refleksi diri, memahami batas energi, dan mengelola stres dengan lebih sehat.
Pada akhirnya, stoikisme bukan sekadar tren di media sosial. Bagi mahasiswa, stoikisme dapat menjadi fondasi untuk menghadapi tantangan kampus yang penuh ketidakpastian. Ketenangan tidak selalu datang dari luar, melainkan dari cara kita mengelola pikiran, harapan, dan tindakan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip stoik secara konsisten, mahasiswa dapat menjaga kesehatan mental sekaligus menata hidup dengan lebih bijak dan penuh kesadaran.
Editor: Alifia Rizqi Ramadhan
