
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Purwokerto, 11 November 2025 – Suasana Gedung Aula Bambang Lelono, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman, kembali hidup dengan gelak tawa dan tepuk tangan penonton pada malam pementasan oleh Teater Teksas. Unit kegiatan mahasiswa yang menaungi para pencinta seni peran dan sastra ini sukses menghadirkan lakon Dukun-Dukunan, adaptasi karya Phutut Buchori, dalam rangka Studi Pentas 2025.
Pementasan yang melibatkan delapan aktor pilihan itu menampilkan gaya realis dengan gaya komedi yang kuat. Kejujuran emosi dan pendalaman karakter para aktor tampak jelas sepanjang pertunjukkan, membuat penonton larut dalam alur cerita yang tak terduga.
Ruang Sastra yang Bernapas di Panggung
Bagi mahasiswa, teater bukan sekadar tontonan, melainkan ruang hidup untuk menyalurkan ekspresi sastra dalam bentuk gerak, dialog, dan akting. Lakon Dukun-Dukunan mengisahkan satir tentang paradigma dukun palsu yang dikemas dengan apik dan menghibur.
“Sebuah tantangan tersendiri bagi saya memerankan tokoh yang awalnya tidak saya inginkan. Dalam teks, bahkan peran saya tanpa dialog, jadi harus banyak improvisasi,” ujar Tama, mahasiswa Sastra Indonesia yang berperan sebagai Tukimin, asisten dukun. Menurutnya, menjadi aktor bukan hanya soal bermain peran, tetapi juga mendalami dan menciptakan karakter baru di atas panggung.
Proses Kreatif dan Chemistry
Proses menuju pementasan tidak mudah. Para aktor berlatih hampir setiap malam di tengah padatnya jadwal kuliah, dengan waktu persiapan hanya sekitar satu bulan setengah. Untuk membangun karakter, mereka mencari inspirasi dari berbagai sumber, mulai dari film, komedi, hingga media sosial. “Saya mengambil inspirasi dari Umi Ampel di TikTok, dan Nunung ketika berperan sebagai ibu-ibu. Banyak menonton dan mendengar masukan dari mentor maupun aktor lain,” kata Sera, pemeran Ibu Martabat. Sementara Pahri, pemeran Asdi atau dukun palsu, mengaku banyak belajar dari tokoh Gepeng dalam film Srimulat. “Awalnya sulit karena karakter ini ekstrovert dan berdialek Jawa, tapi saya belajar lewat film komedi dan pementasan berbahasa Jawa,” ujarnya.
Keberasamaan para aktor juga terbangun melalui kegiatan di luar latihan. Mereka kerap mengadakan makan malam bersama untuk mempererat hubungan. “Kami kumpul tiga kali, termasuk bersama sutradara. Tujuannya agar lebih dekat dan membangun chemistry,” tambah Pahri.
Kendala dan Suka Duka

Di balik sorotan lampu panggung, tersimpan kisah perjuangan yang penuh liku. Setiap aktor wajib mengikuti latihan fisik dan pernapasan sebelum latihan dialog. “Dukanya ya di latihan fisik dan pernapasan, lumayan menguras tenaga banget, apalagi latihan dilakukan hingga larut malam,” ujar Sera.
Cuaca hujan deras sempat menghambat kedatangan penonton malam itu, membuat para pemainkhawatir pementasan akan sepi apresiasi. Namun, di luar dugaan, aula tetap dipenuhi penonton hingga beberapa aktor menitikkan air mata di atas panggung karena terharu. Tepuk tangan dan tawa penonton menjadi penutup manis atas perjuangan panjang mereka. “Selama ini saya sering dapat peran yang cool, gak nyangka bisa bikin penonton tertawa,” ungkap Pahri yang juga memerankan Mbah Dukun Progo.
Selain itu, teater juga menumbuhkan ikatan emosional antaranggota. Mereka bukan hanya rekan latihan, tetapi keluarga yang saling memahami. Dalam proses kreatif yang panjang, para pemain belajar untuk saling mendukung dan memperbaiki satu sama lain. Setiap kendala dan pengalaman pahit bukanlah penghalang, melainkan bagian dari perjalanan menjadi manusia yang lebih peka terhadap kehidupan dan seni. Mereka percaya bahwa teater bukan sekadar pertunjukan, tetapi sekolah kehidupan tempat mereka belajar disiplin, empati, dan makna kebersamaan.
Dari Balik Panggung: Pesan dan Harapan
Bagi para aktor, Dukun-Dukunan bukan sekadar pementasan, melainkan proses pembelajaran. “Studi Pentas ini membuat saya belajar memahami peran dan berhubungan dengan aktor lain. Saya jadi pribadi yang lebih terbuka,” kata Kamila, pemeran Lastri. Sementara Tama berpesan agar aktor muda berani menghadapi tantangan. “Pokoknya maju saja dulu. Masalah dan kendala pasti ada, tapi kita tidak pernah tahu kebaikan apa yang menunggu di depan,” ujarnya.
Senada, Pahri menegaskan bahwa dunia teater mengajarkan keberanian keluar dari zona nyaman. “Jangan terpaku pada naskah, buat ciri khas sendiri. Jangan pilih-pilih karakter, kenali dan dalami peran yang kita mainkan,” ujarnya.
Pementasan Dukun-Dukunan menjadi bukti bahwa semangat sastra, seni, dan budaya tetap hidup subur di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman. Dari balik panggung, para aktor muda Teater Teksas terus menyalakan api kreativitas dan membuktikan bahwa dalam setiap kata dan gerak, selalu ada jiwa yang berbicara.
Editor: Afifah Ghina Khalda
