Teknologi Bioflok: Solusi Berkelanjutan untuk Budidaya Ikan di Indonesia

Purwokerto — Budidaya ikan adalah sektor strategis yang mendukung ketahanan pangan dan ekonomi di Indonesia. Namun, terdapat tantangan utama yang dihadapi pembudidaya seperti biaya pakan yang tinggi, pencemaran air dari limbah organik, dan risiko penyakit akibat kualitas air yang buruk. Untuk menjawab persoalan itu, hadir teknologi bioflok yang menawarkan solusi ramah lingkungan sekaligus efisien.

Petrus Hary Tjahja Soedibya, Guru Besar Budidaya Perikanan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), menjelaskan bahwa teknologi bioflok adalah sistem yang memanfaatkan mikroorganisme untuk mengonversi sisa pakan dan kotoran ikan menjadi flok (gumpalan) mikroba yang kaya protein. Flok ini kemudian dapat dimanfaatkan kembali oleh ikan sebagai pakan tambahan. “Dengan bioflok, sisa pakan yang biasanya mencemari air justru bisa diubah menjadi nutrisi yang bermanfaat. Hasilnya, kualitas air terjaga dan biaya pakan bisa ditekan,” ungkap Hary.

Keunggulan lain dari teknologi bioflok adalah kemampuannya dalam menjaga kestabilan kualitas air melalui proses biokonversi. Mikroorganisme berperan menguraikan anomia dan nitrit beracun menjadi nitrat yang lebih aman bagi ikan. Dengan kondisi perairan yang lebih sehat, pertumbuhan ikan menjadi optimal dan produktivitas meningkat. Bioflok dapat menghemat biaya hingga 30-40 persen dibandingkan sistem konvensional, terutama melalui efisiensi penggunaan pakan dan air.

Teknologi bioflok juga dinilai sesuai bagi petani ikan dengan lahan terbatas. Sistem ini tidak membutuhkan area yang luas karena kolam bisa dibuat padat tebar dengan bantuan aerasi yang baik. Dengan manajemen yang tepat, pembudidaya dengan kolam sempit tetap dapat memperoleh hasil panen yang optimal.

Penerapan teknologi bioflok memerlukan persiapan khusus, seperti kolam dengan aerasi yang baik, penambahan sumber karbon seperti molase, hingga pemantauan rutin parameter air. Aerator menjadi kunci penting karena bakteri pengurai sangat bergantung pada ketersediaan oksigen. “Kalau aerasi terganggu, sistem bisa runtuh. Maka disiplin dalam manajemen air sangat diperlukan,” tegasnya.

Hingga kini, bioflok banyak diterapkan pada budidaya lele, nila, dan udang. Namun, ikan patin dan gurame juga berpotensi dibudidayakan dengan metode serupa. Fleksibilitas ini membuat bioflok semakin diminati oleh para pembudidaya. Meski begitu, tantangan seperti investasi awal yang cukup besar dan keterbatasan pengetahuan teknis masih sering menjadi kendala.

Dengan dukungan pelatihan, fasilitas, dan pendampingan teknologi, Hary optimis bahwa bioflok dapat berkembang lebih luas di Indonesia. Selain meningkatkan efisiensi produksi, sistem ini juga berkontribusi pada kelestarian lingkungan sehingga menjadi solusi strategis bagi masa depan budidaya ikan di tanah air.

Editor: Renada Queentanisa Istifari

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *