Terobosan Baru dalam Akuakultur: Pakan Maggot Mikroenkapsulasi Dukung Pertumbuhan Larva Ikan Nila

Dokumentasi: website Unsoed

Purwokerto – Prof. Ir. Purnomo Sukardi, Ph.D., Guru Besar Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), melakukan terobosan penelitian di bidang akuakultur dengan mengembangkan teknologi mikroenkapsulasi ekstrak kasar maggot sebagai pakan substitusi pada penyapihan larva ikan nila (Oreochromis niloticus).

Mikroenkapsulasi merupakan teknologi pengemasan bahan pakan dengan ukuran sangat kecil, yaitu dalam skala mikron yang hanya bisa dilihat melalui mikroskop. “Mikro-enkapsulasi berarti pakan berbentuk kapsul dengan ukuran mikron. Ukuran pakan ini sangat penting karena larva ikan nila dan jenis ikan lainnya memiliki mulut yang sangat kecil, hanya beberapa milimeter. Jika ukuran pakan lebih besar dari mulut larva, tentu larva tidak bisa makan dan berisiko mati,” jelas Purnomo.

Dokumentasi: website LPPSLH

Riset ini ditujukan untuk mendukung para aquakulturis, terutama mereka yang membudidayakan ikan pada tahap larva. Pada tahapan ini, larva memerlukan pemberian pakan yang tepat agar proses penyapihan berjalan dengan baik dan larva dapat tumbuh optimal. Menurut Purnomo, momen pemberian pakan mikroenkapsulasi yang paling efektif berbeda tergantung jenis ikan. Untuk ikan nila, pakan ini sangat efektif diberikan setelah larva berusia sekitar 10 hingga 15 hari. Sedangkan pada ikan gurami, pemberian pakan mikroenkapsulasi yang terbaik dilakukan saat larva berusia 22 hari setelah periode awal diberikan pakan alami seperti cacing.

Lokasi awal penelitian ini dilakukan di kampus Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsoed, kemudian diterapkan pada beberapa kelompok pembudidaya ikan di desa-desa yang menerapkan konsep smart village sebagai bagian dari pengembangan akuakultur modern.

Pemilihan maggot sebagai bahan dasar pakan substitusi didasarkan pada kemudahan pemeliharaan dan ketersediaan bahan baku yang melimpah. Maggot merupakan larva lalat yang dapat tumbuh dengan cepat dari limbah organik seperti sisa dapur dan restoran. “Dengan memberikan telur maggot pada sampah organik, maggot akan berkembang biak dengan cepat. Setelah itu, maggot dikeringkan dan diolah menjadi mikroenkapsulasi sebagai bahan pakan larva ikan. Hal ini tentu sangat efisien dan ekonomis karena harga pakan ikan konvensional cukup mahal dan bisa mencapai 50 persen dari total biaya pemeliharaan,” ungkap Purnomo.

Namun, meski maggot memberikan banyak manfaat, pakan berbahan dasar maggot tidak dapat dijadikan satu-satunya jenis pakan bagi larva ikan. Purnomo menjelaskan bahwa maggot mengandung kitin, yaitu zat keras yang sulit dicerna oleh sistem pencernaan larva ikan. Oleh karena itu, pakan mikroenkapsulasi maggot disarankan hanya diberikan dalam proporsi terbatas, yakni maksimal sekitar 30 hingga 50 persen dari total pakan. “Jika seluruh pakan diganti dengan mikroenkapsulasi maggot, pertumbuhan larva bisa terhambat. Kitin yang banyak akan sulit dicerna dan larva tidak akan tumbuh besar sebagaimana mestinya,” tambahnya.

Selain bertujuan untuk meningkatkan efektivitas budidaya ikan, riset ini juga memiliki nilai sosial ekonomi yang tinggi. Purnomo membuka peluang pemberdayaan UMKM dengan memberdayakan ibu-ibu rumah tangga yang mengumpulkan sampah organik sebagai bahan baku untuk budidaya maggot. Inisiatif ini diharapkan dapat memberikan tambahan penghasilan sekaligus mengurangi limbah organik di lingkungan.

“Dengan inovasi ini, para pembudidaya tidak hanya bisa menekan biaya produksi pakan, tetapi juga menjadi bagian dari ekosistem pangan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan,” tandas Purnomo.

Riset ini mendapat sambutan positif dari kalangan akademisi maupun praktisi akuakultur dan diharapkan dapat terus dikembangkan, sehingga Indonesia mampu meningkatkan produktivitas budidaya ikan secara efisien dan berkelanjutan.

Editor: Rizqiya Amali Husna

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *