Sumber: Dokumentasi Pribadi
Cilacap – Di sebuah ruang kelas yang mulai padat dengan jadwal tambahan, langkah para siswa SMK YPE Kroya terdengar lebih berat dari biasanya. Di papan tulis, deretan soal logika tersusun rapi, sementara kalender besar berwarna merah menandai satu hal penting. TKA (Tes Kemampuan Akademik) 2025 semakin dekat. Bagi sebagian siswa, kalender itu hanyalah jadwal. Namun bagi banyak lainnya, ia berubah menjadi hitungan mundur menuju ketidakpastian.
Kebijakan Tes Kompetensi Akademik atau TKA yang kembali diterapkan sebagai pengganti Ujian Nasional membawa perubahan besar bagi sistem evaluasi pendidikan di Indonesia. Di tengah perdebatan publik, guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMK YPE Kroya yang bernama Novita menyampaikan pandangannya. “Dengan TKA, siswa lebih berorientasi pada kemampuan berpikir, bukan sekadar hafalan. Mereka diharapkan memahami materi secara mendalam,” ujarnya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa sistem evaluasi berbasis analisis kognitif dinilai mampu meningkatkan pemahaman konsep dibandingkan metode hafalan. TKA dianggap relevan untuk mendorong kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah yang menjadi kompetensi penting pada abad ke-21. Meski demikian, perubahan ini juga menghadirkan sejumlah tantangan. Menurut Novita, perbedaan mendasar antara Ujian Nasional dan TKA ada pada fungsi dan orientasinya “Kalau Ujian Nasional itu evaluasi akhir masa sekolah, sementara TKA adalah seleksi masuk perguruan tinggi,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa sebagian siswa memberi respons berupa kecemasan terhadap kebijakan ini. “Banyak yang tidak setuju karena persiapannya mendadak. Mereka hanya diberi waktu dua bulan les,” tuturnya. Meski menghadapi keluhan siswa, Novita tetap berusaha membangun kedisiplinan dan kepercayaan diri peserta didiknya.
Di lapangan, tantangan yang dihadapi guru tidak hanya bersifat teknis tetapi juga emosional. Novita mengakui bahwa keragaman kemampuan siswa, keterbatasan waktu belajar, dan luasnya cakupan materi membuat guru harus menyusun strategi efektif tanpa menekan mental siswa.
Dari sisi fasilitas, SMK YPE Kroya termasuk sekolah yang cukup siap. “Sampai saat ini sekolah sudah membeli enam puluh laptop baru, ditambah komputer lama. Jaringan internet juga lancar, dan tiga laboratorium komputer siap digunakan untuk TKA,” ungkapnya.
Namun bagi banyak sekolah lain di daerah, kondisi tersebut belum tentu dapat dicapai. Situasi ini menjadi gambaran bahwa ketimpangan digital di Indonesia masih nyata dan perlu mendapat perhatian. Terkait relevansi TKA dengan Kurikulum Merdeka, Novita menyatakan dukungannya. “Kurikulum Merdeka berbasis pada kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah. Hal ini juga menjadi fokus TKA,” katanya.
Pandangan tersebut sejalan dengan prinsip kemampuan berpikir tingkat tinggi yang menjadi dasar pengembangan kompetensi belajar sepanjang hayat dalam Kurikulum Merdeka. Menutup penjelasannya, Novita menyampaikan harapan bagi masa depan pendidikan Indonesia. “Saya berharap evaluasi nasional menjadi alat yang adil dan objektif. Bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga karakter, kreativitas, keterampilan, dan nilai nilai Pancasila.”
Pada akhirnya, TKA bukan hanya alat untuk menguji kemampuan siswa. TKA juga menjadi cermin untuk menilai kesiapan sistem pendidikan Indonesia dalam menghadapi masa depan. Seperti kalender di dinding kelas itu, waktu akan menjadi penilai yang paling jujur.
Editor: Kuat Aldiyanto
