Di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jogjakarta, tradisi Rasulan digelar sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Rasulan merupakan bentuk syukur atas hasil bumi. Rasulan biasanya diadakan setelah panen yang bertujuan merayakan hasil bumi dan mempererat tali silaturahmi warganya. Hasil bumi yang dibawa berupa nasi, lauk pauk, kerupuk dan buah-buahan. Hasil bumi itu dibawa menggunakan tenggok (keranjang besar dari anyaman bambu).


Sebelum mulai tradisi rasulan, warga mengumpulkan tenggok terlebih dahulu di pendopo dusun. Alunan-alunan lagu Jawa terdengar hingga ke luar dusun. Tradisi Rasulan ini diwarnai dengan berbagai kegiatan. Kegiatan dalam tradisi Rasulan ini mulai dari tayub hingga berbagi hasil bumi warganya.
Tayub adalah kesenian berupa tari tradisional yang diiringi oleh gamelan dan ditampilkan saat acara Rasulan. Pementasan Tayub berada di dekat sumber air dan ditampilkan tembang Jawa, yaitu Ijo-ijo, Blendrong, Eleng-eleng, dan Sri Slamet.


Setelah tayub, warga kembali ke balai untuk melaksanakan doa bersama. Doa mengharapkan berkah dan kelimpahan bagi hasil bumi. Rasulan diakhiri dengan pembagian hasil bumi, sebagai simbol kebersamaan dan saling berbagi antarwarga.

Tradisi ini mencerminkan kekuatan ikatan sosial antarwarga dan penghormatan terhadap budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun. Dengan adanya tradisi Rasulan, diharapkan nilai-nilai gotong royong dan rasa syukur tetap terjaga di tengah perkembangan zaman. Warga berharap acara ini akan terus dilestarikan sebagai bagian dari warisan budaya yang harus dikenang dan dirayakan oleh generasi mendatang.