
Di era digital ini, mahasiswa semakin jarang menulis artikel
panjang untuk media kampus. Mereka lebih memilih membuat konten video singkat
di TikTok, Reels, atau Instagram — dan hal itu bukan sekadar tren, melainkan
cerminan nyata dari perubahan cara generasi muda mengekspresikan diri.
Berdasarkan survei Jakpat (6–9 Desember 2024) terhadap 1.155 responden usia
15–27 tahun, 63% lebih mengisi waktu luang dengan scrolling media sosial.
Ditambah laporan Digital 2024: Global Overview dari We Are Social yang menyebut
bahwa orang Indonesia rata-rata menghabiskan 3 jam 11 menit per hari untuk
media sosial, menunjukkan betapa dominannya platform digital dalam keseharian
anak muda saat ini. Untuk mahasiswa, video singkat menjadi sarana utama:
memungkinkan mereka menyampaikan pengalaman kuliah, tips belajar, hingga
uneg-uneg kampus dengan cepat dan lebih “hidup”. Pergeseran ini juga
memperlihatkan bagaimana media sosial kini menjadi arena utama mahasiswa untuk
bercerita, berinteraksi, dan mendapat pengakuan dari teman sebaya.
Peralihan mahasiswa dari tulisan panjang ke konten visual tidak
hanya mengubah cara bercerita, tapi juga memberi efek signifikan pada
jurnalisme kampus. Artikel yang dulu menjadi ruang refleksi dan dokumentasi isu
kampus kini makin jarang dibaca, tergeser oleh video singkat yang lebih mudah
dicerna. Namun, pergeseran ini membawa konsekuensi seperti kedalaman informasi
perlahan meurun, kritik mahasiswa menjadi lebih dangkal, dan arsip pemikiran
kampus berpotensi hilang di tengah banjirnya konten digital. Wakil Menteri
Komunikasi & Digital, Nezar Patria, menegaskan pentingnya tetap menjaga
cara berpikir kritis di tengah budaya konten cepat tersebut. “Melawan post-truth
sebetulnya simpel saja, hidupkan kembali critical thinking atau
pemikiran kritis kita. Kuncinya, jangan cepat percaya dengan informasi yang
kelihatannya begitu mudah,” ujar Wamen Komdigi.
Pergeseran ke konten video juga tidak bisa dilepaskan dari budaya
digital mahasiswa masa kini. Kampus bukan lagi hanya ruang akademik, tapi juga
ruang produksi konten. Mulai dari vlog perkuliahan, review dosen, tips skripsi,
sampai curhatan mental health, semuanya dibungkus dalam format singkat
yang mudah dikonsumsi dan cepat mendapatkan interaksi. Ekspresi diri mahasiswa
kini lebih sering muncul lewat TikTok atau Instagram dibandingkan melalui
tulisan panjang di buletin kampus. Konten cepat dianggap lebih “nyambung”,
lebih real-time, dan lebih mencerminkan kehidupan mereka sehari-hari.
Di tengah derasnya arus konten singkat, menulis sebenarnya masih
punya peran penting bagi mahasiswa. Tulisan memberi ruang untuk memperlambat
pikiran, merumuskan argumen, dan membangun sudut pandang yang matang, sesuatu
yang tidak selalu dapat dicapai lewat video berdurasi 30 detik. Bukan berarti
konten visual tidak bernilai, tetapi kedalaman refleksi sering kali muncul dari
proses menulis. Wamen Komdigi juga menekankan pentingnya bijak dalam
memproduksi dan mengonsumsi konten di era digital. “Generasi muda harus
menggunakan media sosial dengan bijak agar dapat memilah mana konten yang benar
dan bermakna, bukan hanya sekadar viral,” imbuh Nezar Patria.
Pesan ini selaras dengan kebutuhan mahasiswa di era modern ini.
Ketika semua hal serba cepat dan instan, menulis justru menjadi bentuk
perlawanan kecil terhadap budaya digital yang melelahkan. Meninggalkan tulisan
panjang sepenuhnya berarti melepaskan kesempatan untuk memahami diri sendiri
dan lingkungan kampus secara lebih mendalam. Sebagai jalan tengah, kampus dan
mahasiswa bisa memadukan kekuatan tulisan dan konten visual agar kedalaman
informasi tidak hilang di tengah budaya viral. Media kampus dapat membuat
artikel panjang yang dilengkapi video singkat, sementara mahasiswa perlu
meningkatkan literasi digital, tidak hanya soal cara membuat konten menarik,
tetapi juga bagaimana menghasilkan informasi yang benar, bertanggung jawab, dan
bermakna.
