Video viral siswa gugup wawancarai pemilik warung (Sumber: TikTok @zeyn6484)
Purwokerto – Sebuah video pendek yang memperlihatkan seorang siswa melakukan wawancara dengan pemilik warung mendadak viral di TikTok dan mengundang perhatian warganet. Video yang diunggah pada tanggal 19 Oktober 2025 di akun TikTok @zeyn6484 ini kini telah ditonton puluhan juta kali dan ramai dikomentari karena dinilai lucu, relatable, sekaligus menarik dari sudut pandang bahasa dan literasi digital.
Dalam video tersebut, siswa tampak membawa buku catatan berisi daftar pertanyaan, lalu membacakannya dengan nada kaku dan formal. Bahasa yang digunakan sangat baku, seperti gaya tanya-jawab dalam buku pelajaran, tetapi terasa janggal ketika diterapkan pada situasi nyata. Sebaliknya, ibu pemilik warung merespons dengan bahasa sehari-hari yang lebih rileks, sederhana, dan natural.
Perbedaan gaya berbicara ini memperlihatkan adanya perbedaan register bahasa antara kedua penutur. Bahasa yang digunakan siswa bersifat akademik, terstruktur, dan menunjukkan “bahasa tugas sekolah”, sedangkan bahasa ibu warung bersifat kontekstual, spontan, dan mewakili komunikasi sehari-hari di ranah domestik. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pelajar memang dilatih menggunakan bahasa baku di sekolah, tetapi belum tentu mampu menyesuaikannya dengan situasi sosial yang lebih santai di luar kelas.
Menariknya, peristiwa yang awalnya hanya merupakan tugas wawancara sederhana di dunia nyata berubah fungsi ketika masuk ke ruang digital. Aktivitas yang semula bersifat individual kemudian menjadi konten viral, percakapan tatap muka berubah menjadi bahan diskusi massal di kolom komentar, dan momen komunikasi langsung berubah menjadi bahan literasi digital kolektif. Banyak warganet yang merasa “pernah sekaku itu”, membagikan pengalaman serupa, bahkan menjadikan video tersebut sebagai bahan humor dan nostalgia.
Respons warganet menunjukkan bahwa media sosial hari ini bukan hanya ruang untuk berbagi video, tetapi juga arena refleksi linguistik. Pengguna tidak hanya menonton, tetapi juga mengomentari cara berbicara, pilihan kata, intonasi, hingga kegugupan siswa sebagai fenomena bahasa. Dalam hal ini, audiens berperan aktif: mereka menafsirkan, membandingkan, dan mengaitkan pengalaman bahasa mereka sendiri dengan yang ada di dalam video.
Video tersebut sekaligus menjadi contoh bagaimana literasi digital membentuk cara orang memahami bahasa. Konten sederhana dapat berubah makna setelah diberi caption, hashtag, dibagikan ulang, diparodikan, dan diberi komentar meta-bahasa seperti “auto blank”, “pernah sekaku ini”, atau “nggak bisa bedain bahasa tugas dan bahasa ngobrol”. Di sinilah terlihat bahwa realitas bahasa di era digital tidak hanya terjadi pada tuturan langsung, tetapi juga pada cara masyarakat menanggapi tuturan itu secara online.
Editor: Muhammad Faqih Yahya
