Kehadiran Film Rangga dan Cinta pada Oktober 2025 menjadi magnet baru bagi remaja Indonesia. Sosok Rangga yang kembali memenangkan lomba cipta puisi seolah menghidupkan lagi imajinasi yang lama padam. Setelah bertahun-tahun sastra dianggap terlalu “berat”, film ini seakan membuka pintu bagi generasi muda untuk menatap puisi dengan cara baru yang lebih dekat, lebih relevan, dan lebih pop.
Di berbagai komunitas literasi mulai tampak geliat baru. Remaja di berbagai platform media sosial ramai mengikuti tren #PuisiRangga, sebuah gerakan membaca puisi dengan menirukan gaya bicara Rangga yang khas dan berbahasa puitis. Toko buku di kawasan Kwitang, Jakarta, pun kembali dipadati pengunjung. Buku puisi Aku karya Chairil Anwar menjadi salah satu yang paling banyak dicari warganet. Fenomena ini menunjukkan bahwa pengaruh budaya populer mampu menembus ranah yang dulu dianggap sunyi yaitu dunia sastra.
Namun, kebangkitan ini patut ditelaah dengan jernih. Minat sastra yang muncul karena film bisa jadi hanya pantulan sesaat yang indah, akan tetapi cepat pudar. Tanpa upaya nyata dari sekolah, keluarga, dan media untuk menumbuhkan kebiasaan membaca, semangat itu mungkin kembali padam. Wawasan literasi bukan tentang ikut tren, melainkan tentang menumbuhkan pemahaman dan rasa ingin tahu yang mendalam. Di sinilah pentingnya peran pendidikan untuk mengubah ketertarikan menjadi kecintaan.
Kebangkitan sastra di kalangan remaja memang layak disambut, tetapi juga perlu diarahkan. Film bisa menjadi pemantik, namun keberlanjutan minat membaca dan menulis hanya akan lahir dari kesadaran yang tumbuh sendiri, bukan dari tren yang sesaat. Rangga dan Cinta telah membuka jalan, kini giliran generasi muda menentukan apakah jejak itu akan berakhir di layar bioskop atau terus hidup di lembar-lembar puisi yang mereka tulis sendiri.
Editor: Khairunnisa Al Jauziyah
