Dijajah Brand Kosmetik: Tantangan Mahasiswa Melawan Godaan Tren Digital

Purwokerto—Coba jujur, di tas ransel kita, sudah ada berapa shade lipstik yang warnanya nyaris kembar? Akhir bulan, dompet mahasiswa sering kali sudah menjerit, tetapi notifikasi e-commerce justru menawarkan diskon lip tint terbaru yang sedang viral di TikTok. Inilah wajah nyata budaya konsumtif di kampus: kita tidak lagi membeli makeup karena habis, melainkan karena ada tekanan untuk ikut tren fast beauty yang bergerak secepat kilat. Sampai kapan kita akan membiarkan identitas diri kita ditentukan oleh koleksi kosmetik yang trending, bukan oleh kualitas berpikir kita? Opini ini berargumen bahwa kegilaan mengejar tren beauty adalah jebakan yang merusak fokus akademik dan finansial mahasiswa.

Masalah ini bukan soal kebutuhan, tetapi soal sistem. Secara wawasan finansial, kita tahu bahwa industri beauty sengaja merancang produk agar cepat usang atau digantikan oleh “inovasi” baru dalam hitungan minggu. Tekanan diperkuat oleh algoritma yang membanjiri feed kita dengan influender yang sejatinya adalah mesin pemasaran seolah menjamin bahwa kita wajib memiliki produk terbaru ini. Akibatnya, barang konsumtif kini menjadi alat legitimasi sosial: jika tidak punya produk X yang viral, kita merasa tertinggal atau kurang valid sebagai bagian dari inner circle pertemanan. Ini adalah gejala Fear Of Missing Out  (FOMO) yang menjebak dompet kita.

Dampak dari godaan ini sangat nyata. Banyak mahasiswa yang seharusnya fokus pada riset dan buku justru kesulitan menabung dan mengatur keuangan karena terus-menerus mengikuti rilis kosmetik edisi terbatas. Uang yang seharusnya bisa dialokasikan untuk course daring atau dana darurat ludes hanya untuk memenuhi standar gaya hidup di media sosial. Secara etika, ini adalah kritik keras: harga diri seorang akademisi seharusnya diukur dari kecerdasan, integritas, dan kontribusi, bukan dari merek foundation atau shade lipstik. Prioritas kita bergeser, dan itulah kemenangan bagi kapitalisme tren.

Untuk memutus rantai konsumsi ini, kita perlu aktivasi mindful spending mengendalikan diri alih-alih dikendalikan. Caranya, tunda checkout produk viral selama tiga hari dan tanyakan, “Apakah produk ini benar-benar memperbaiki kebutuhanku atau hanya menenangkan hasrat sesaat?” Solusi kedua adalah merebut kembali narasi identitas. Mari kita putuskan validasi dari media sosial dan geser sumber harga diri kita dari barang ke kualitas diri. Inilah saatnya kita berani mengatakan “cukup” pada kapitalisme tren dan menginvestasikan uang kita pada skill yang akan menghasilkan pemasukan, bukan pengeluaran.

Editor: Sofia Almas Meylani

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *