Fenomena cyberbullying kini menjadi ancaman yang semakin nyata bagi remaja Indonesia. Penggunaan media sosial yang terus meningkat membuat ruang digital menjadi tempat interaksi yang sulit diawasi. Data Kementrian Komunikasi dan Digital pada tahun 2025 menununjukkan bahwa sebanyak 48% anak-anak pengguna internet di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan daring. Temuan ini menunjukkan bahwa masalah ini bukan lagi kejadian yang muncul sesekali, melainkan sudah menjadi persoalan besar yang harus diperhatikan semua pihak.
Dampak psikologis yang ditimbulkan pun tidak dapat dianggap ringan. Berbagai riset kesehatan mental remaja mengungkap bahwa korban cyberbullying cenderung mengalami kecemasan, penurunan rasa percaya diri, hingga gangguan konsentrasi yang berdampak pada proses belajar. Sebuah kajian Pendidikan di Indonesia mencatat bahwa 51,6% siswa SMP yang disurvei pernah terlibat dalam situasi perundungan daring, baik sebagai korban maupun pelaku. Fakta ini memperlihatkan bahwa ekosistem digital remaja masih jauh dari kata aman.
Melihat kondisi tersebut, sudah saatnya sekolah, orang tua, dan masyarakat memperkuat literasi digital bagi remaja. Mereka perlu diperkenalkan pada etika berkomunikasi yang sehat di internet serta cara mengenali bentuk-bentuk perundungan daring. Pembekalan ini penting agar remaja memahami bahwa komentar negatif, penyebaran informasi pribadi, atau unggahan yang merendahkan dapat berdampak besar pada kondisi mental seseorang.
Selain itu, remaja juga harus diberi keberanian untuk melapor ketika menjadi korban atau menyaksikan kekerasan digital.Lingkungan yang mendukung akan membantu mereka merasa lebih aman dan tidak sendiri. Ruang internet idealnya menjadi tempat untuk belajar, berkembang, dan mengekspresikan diri secara positif. Dengan kerja sama semua pihak, kita bisa menciptakan ekosistem digital yang lebih ramah dan sehat bagi generasi muda.
Editor:
