Purwokerto – Aula Fakultas Ilmu Budaya pagi itu dipenuhi semangat mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia. Mereka hadir bukan sekadar mengikuti kuliah umum, melainkan untuk menyelami bagaimana bahasa Indonesia berperan sebagai jembatan diplomasi dunia.
Acara dibuka oleh Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Dalam sambutannya, ia menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi ruang penting bagi mahasiswa untuk memperluas wawasan mengenai pengajaran bahasa Indonesia di kancah internasional.
Menghadirkan Ari Kusmiatun sebagai narasumber, Dosen Universitas Negeri Yogyakarta sekaligus Ketua Afiliasi Pengajar dan Pegiat Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (APPBIPA) Yogyakarta. Ari, yang dikenal aktif dalam publikasi internasional dan berpengalaman mengajar di luar negeri.
Sesi dibuka dengan kegiatan ringan berupa senam konsentrasi yang membuat suasana cair dan penuh antusiasme. Setelah itu, Ari mulai memaparkan materi tentang BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) dan perannya dalam diplomasi budaya.
Menurut Ari, pembelajaran bahasa Indonesia terbagi menjadi dua, yakni BIPI untuk penutur dalam negeri dan BIPA untuk penutur asing.
“BIPA bukan sekadar pengajaran bahasa, tetapi sarana memperkenalkan budaya, masyarakat, dan nilai-nilai Indonesia kepada dunia,” ungkap Ari.
Ia menjelaskan bahwa BIPA kini dipelajari di lebih dari 57 negara dan menjadi bagian penting dari soft diplomacy Indonesia. Bahkan, bahasa Indonesia pernah tercatat sebagai bahasa ketiga yang paling banyak digunakan di platform WordPress dan kini menjadi bahasa resmi dalam sidang UNESCO.
Ari menekankan, pengajar BIPA perlu memiliki keterampilan khusus agar mampu beradaptasi dengan kebutuhan pemelajar asing.
“Menjadi pengajar BIPA bukan hanya soal kemampuan berbahasa, tapi juga soal kreativitas dan empati,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa pengajar harus mampu menciptakan suasana belajar yang hidup, fleksibel, dan memberikan ruang bagi siswa untuk praktik langsung menggunakan bahasa Indonesia.
Ia juga menambahkan pentingnya prinsip “ajarkan berbahasa, bukan tentang bahasa”. Artinya, pengajar perlu menuntun pemelajar untuk berkomunikasi aktif dengan bahasa Indonesia, bukan sekadar memahami struktur atau tata bahasanya.
Kegiatan ini semakin menarik ketika Ari menunjukkan beragam media dan aplikasi pembelajaran seperti Wordwall, LearningApps, dan Duolingo yang dapat digunakan untuk mendukung pengajaran BIPA.
Salah satu mahasiswa peserta, Rafa, mengaku mendapat banyak inspirasi dari kuliah umum tersebut.
“Ternyata BIPA itu lebih luas dari yang saya bayangkan. Bahasa Indonesia bisa jadi sarana diplomasi yang mengenalkan budaya kita ke dunia,” ujarnya.
Kuliah umum ditutup dengan sesi tanya jawab yang penuh antusias. Para mahasiswa aktif berdiskusi tentang peluang menjadi pengajar BIPA dan kontribusi mereka dalam mengembangkan bahasa Indonesia di kancah internasional.
Melalui kegiatan ini, mahasiswa diajak menyadari bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga kekuatan lunak bangsa. Dari kelas kecil di Purwokerto, semangat untuk membawa bahasa Indonesia mendunia pun tumbuh semakin kuat.
Editor: Rimanda Sahya Citharesmi
