Sumber: pinterest
Tren koleksi mainan vinil karakter Labubu, yang sempat viral di kalangan anak muda Indonesia, tidak hanya menjadi fenomena budaya pop, tetapi juga memunculkan diskusi mengenai budaya konsumerisme di generasi milenial dan Gen Z. Labubu, karakter imut dengan desain unik karya artist Hong Kong, Kasing Lung, berhasil menarik perhatian luas, terutama melalui media sosial, yang mempercepat penyebaran popularitasnya di Indonesia.
Di balik karakter yang menggemaskan, Labubu memunculkan fenomena yang lebih dalam, yakni dorongan untuk memiliki produk-produk terbatas dan eksklusif, yang secara langsung berkaitan dengan budaya konsumerisme. Anak muda Indonesia yang sebelumnya mungkin lebih banyak terpapar pada budaya digital, kini terlibat aktif dalam dunia fisik melalui hobi mengoleksi mainan desainer. Antrean panjang di acara toy conventions, serta perburuan Labubu edisi terbatas di toko-toko online, adalah gambaran nyata dari bagaimana tren ini telah menggerakkan para kolektor untuk mengeluarkan biaya besar demi mendapatkan karakter yang diidamkan.
Tren ini juga semakin menguat dengan munculnya komunitas kolektor yang terbentuk secara organik. Di media sosial, khususnya Instagram dan Twitter, para penggemar Labubu berbagi koleksi mereka, memamerkan versi edisi terbatas, dan bahkan berkompetisi untuk mendapatkan figur langka. Berbagai foto dan video unboxing menjadi konten populer, memperkuat nilai status sosial dari koleksi ini. Banyak dari mereka yang rela menghabiskan waktu dan uang untuk mengikuti perilisan terbaru, bahkan beberapa karakter Labubu dijual dengan harga yang mencapai jutaan rupiah di pasar sekunder.
Di sisi lain, industri mainan vinil dan karakter seperti Labubu juga memberikan peluang bagi brand dan desainer lokal untuk berkolaborasi dan memanfaatkan tren ini. Beberapa merek lokal mulai merilis produk kolaboratif yang memadukan desain tradisional Indonesia dengan estetika kawaii ala Labubu, semakin memperkaya pasar kreatif Indonesia.
Namun, tidak sedikit yang mengkritik fenomena ini sebagai cerminan dari budaya konsumtif yang semakin kuat di kalangan anak muda. Beberapa pihak menganggap bahwa tren ini mendorong perilaku pembelian impulsif dan keinginan untuk memiliki sesuatu semata-mata karena popularitasnya, bukan karena nilai atau fungsi produk itu sendiri.
Meski begitu, tren Labubu menunjukkan bahwa budaya konsumerisme di kalangan anak muda Indonesia telah bertransformasi, tidak lagi hanya sebatas produk-produk digital atau mode, tetapi merambah ke dunia fisik melalui koleksi mainan dan karya seni. Seiring berjalannya waktu, apakah tren ini akan terus berkembang atau berkurang popularitasnya, masih menjadi tanda tanya. Yang jelas, Labubu telah meninggalkan jejak yang cukup dalam dalam budaya pop dan gaya hidup anak muda di Indonesia.