Menelisik Peran Krusial Penerjemah di Era AI

Purwokerto — Di tengah maraknya penggunaan Artificial Intelligence (AI) untuk terjemahan instan, profesi penerjemah manusia justru dianggap semakin penting. Mereka bukan sekadar pengalih bahasa, melainkan jembatan yang menghubungkan dua budaya dan penentu kualitas literatur terjemahan di Indonesia.

Pandangan ini disampaikan oleh Ambhita Dhyaningrum, akademisi dan praktisi penerjemahan yang telah lama berkecimpung di industri penerbitan ternama seperti Gramedia, Mizan, Bentang Pustaka, dan Tiga Serangkai.

“Penerjemah manusia itu akan tetap dibutuhkan lebih dari AI,” ujar Ambhita, dosen di Universitas Jenderal Soedirman sekaligus penerjemah profesional, dalam wawancara Jumat (3/10/2025).

Ambhita Dhyaningrum, dosen di Universitas Jenderal Soedirman sekaligus penerjemah profesional. (Dok. Pribadi)

Ambhita, yang telah menerjemahkan lebih dari seratus buku fiksi dan nonfiksi, menegaskan bahwa penerjemahan memiliki peran penting dalam memperluas akses masyarakat terhadap pengetahuan dan literatur global.

“Penerjemahan itu seperti jembatan yang menghubungkan dua bahasa dan budaya. Penerjemah memang sangat penting untuk membangun keterhubungan antara bahasa dan budaya itu,” tutur Ambhita.

Menurut lulusan Sastra Inggris tersebut, kualitas sebuah terjemahan sangat bergantung pada tiga hal utama, yaitu akurasi, keberterimaan, dan keterbacaan. “Pertama, ketepatan penerjemahan atau akurasi. Kedua, keberterimaan, bagaimana terjemahan itu bisa dibaca, berterima dengan norma dan budaya. Ketiga, keterbacaan, bagaimana pembaca bisa dengan nyaman membaca buku itu tanpa merasa bahwa buku itu adalah buku terjemahan,” ujar Ambhita.

Salah satu pengalaman menantang yang pernah Ambhita hadapi adalah ketika menerjemahkan The Adventures of Huckleberry Finn karya Mark Twain, yang menggunakan dialek Negro atau African-American English. “Tantangannya adalah ketika kita berusaha untuk akurat, dalam artian kalau akurat kan pesan dari bahasa sumber ke sasaran harus sama persis, tidak boleh bergeser sedikit pun termasuk ketika kita menerjemahkan dialek,” tuturnya.

Perkembangan teknologi kini menghadirkan tantangan baru bagi dunia penerjemahan. Beberapa industri yang mengejar efisiensi mulai memanfaatkan AI untuk menghasilkan terjemahan cepat, mempekerjakan proofreader untuk memperbaiki hasil AI. Meski begitu, Ambhita meyakini profesi penerjemah manusia tetap memiliki keunggulan yang tak tergantikan.

“Kalau menggantikan sebenarnya tidak. Yang namanya mesin sama manusia itu beda. Tentu saja style dan sense-nya itu akan sangat berbeda. Memang ada yang tidak bisa digantikan, terutama kalau itu membutuhkan sentuhan humaniora. Sastra itu tidak mungkin bisa digantikan mesin,” tegasnya.

Ia optimistis masa depan profesi penerjemah di Indonesia tetap cerah. Dalam pandangannya, penerjemah manusia memiliki peran penting dalam menjaga keakuratan makna serta nilai budaya di balik teks.

Ambhita menegaskan bahwa kemajuan teknologi tidak serta-merta menggeser peran manusia. Justru keterampilan, kompetensi, dan etika profesional penerjemah manusia tetap menjadi kunci dalam memastikan akses yang berkualitas, akurat, dan berbudaya terhadap literatur dunia.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *