Teratai Putih
Oleh: Giska Melinda Putri
Danau Rana Tonjong merupakan danau teratai terbesar di dunia. Danau yang terletak di Desa Nangabaras, Sambirampas, Manggarai Timur. Danau ini terkenal dengan keindahan hamparan bunga teratai atau lotus yang mengisi seluruh wajah danau. Terlebih jika saat mekar, sungguh membuat mata tak bisa berpaling dari keindahan dan kecantikan bunga teratai itu.
Kini aku berada di depannya. Di depan deretan bunga-bunga teratai yang seolah tersenyum kepadaku. Aku beruntung karena datang di waktu yang tepat, yaitu ketika seluruh bunga teratai di sini bermekaran. Memang patut aku acungi jempol karena memang seindah ini, bahkan mataku tak pernah bisa melepaskan pandangannya pada objek yang lain.
Aku menaiki sebuah perahu kecil untuk bisa melihat bunga teratai mekar sedekat ini. Tadinya aku mau menyewa perahu ini lebih lama, tapi berhubung banyak pengunjung yang hadir jadinya aku urungkan niatku untuk menyewanya lebih lama. Aku naik bersama seorang teman perempuanku. Dia teman kuliahku. Kami sepakat untuk pergi melihat bunga teratai di danau ini setelah melewati berbagai rencana yang berujung wacana. Biasalah, orang kalau sudah dewasa hobi sekali membuat janji bersama, namun ujungnya menjadi wacana alias tidak jadi. Sama seperti kami ini.
“Mba ini sudah habis waktunya. Kita balik ke sana ya soalnya masih banyak yang mengantri.” Ucap bapak-bapak yang menjalankan perahu ini.
“Apakah tidak bisa sedikit lebih lama lagi, Pak? Saya ingin menyewanya lebih lama.” Ucapku memohon, berharap permintaanku itu dikabulkan oleh bapak penjaga perahu.
“Maaf ya, Mba di sini kami lebih mengutamakan keadilan karena pada dasarnya keindahan yang Tuhan kirim ini pantas untuk dinikmati siapa saja termasuk mereka semua yang sedang mengantri.”
Aku tidak menyangka akan mendapatkan jawaban sebijaksana dan sedewasa ini. Setelah mendengar penjelasan bapak penjaga perahu ini aku melihat ke arah para pengunjung yang mengantri di ujung sana, aku rasa ucapan bapak itu benar dan aku tidak boleh egois untuk menikmatinya sendiri tanpa membiarkan orang lain menikmatinya juga. Alhasil, aku menuruti ucapan bapak penjaga perahu.
Kami pun berbalik menuju tepi danau dengan aku yang masih tak rela meninggalkan deretan bunga teratai yang terus memberikan senyuman terindahnya padaku.
“Hei, kenapa kau suka sekali melihat bunga teratai?” Tanya temanku yang membuatku sedikit terkejut.
“Karena indah.” Jawaban yang singkat, tapi memang hanya itu saja.
“Benarkah?” Tanya temanku lagi memastikan.
“Benar.”
Tak perlu waktu lama untuk kami sampai ke tepi danau mungkin hanya sekitar dua sampai tiga menitan saja. Setelah sampai, aku dan temanku bersiap turun dari perahu, tetapi tanpa kami duga banyak pengunjung menghampiri kami dan saling berebut untuk bisa menaiki perahu kayu ini. Aku dan temanku yang hampir terjatuh pun hanya bisa mengelus dada melihat pemandangan ini. Aku pikir mereka tahu aturan mengantri yang baik karena aku lihat pengunjung di sini di dominasi oleh orang-orang dewasa. Mungkin aku yang terlalu berekspektasi tentang arti dewasa. Memang banyak yang mengatakan, semakin beranjaknya usia seorang manusia tidak menjamin seberapa mereka dapat dikatakan dewasa dalam hidupnya. Seperti fakta yang terpampang jelas di mataku saat ini.
“Minggir! Aku duluan yang akan naik perahu ini karena aku sampai terlebih dahulu.” Teriak seorang wanita dewasa pada wanita yang ku tebak lebih mudah darinya.
“Tapi, Mba saya juga sudah sampai di sini bahkan saya duluan, Mba.” Ucapnya membela.
“Diam kalian berdua! Perahu ini sudah saya sewa sebelum kalian berdua, betul tidak, Pak?” Sela seorang ibu-ibu yang ada di samping aku dan temanku.
Kami berdua masih berada di tengah kerumunan ini karena kami sangat sulit untuk keluar dari kerumunan ini. Memang tidak bisa disalahkan juga karena musim bunga teratai mekar di bulan ini, jadi sudah bisa dipastikan kalau banyak pengunjung yang akan datang ke tempat ini.
“Betul, Bu. Maaf ya semua, perahu ini sudah lebih dulu dipesan oleh ibu ini.” Ucap bapak penjaga perahu yang masih berdiri di perahu yang ia naiki.
“Benarkan, jadi minggirlah kalian karena aku mau menaikinya.”
“Dasar curang! Pemain uang!” Ucap wanita dewasa yang berteriak pertama.
“Eh! Jangan asal biacar kamu ya.”
Perdebatan itu terus berlangsung sampai membuatku pusing dan muak melihat pemandangan ini. Aku dan temanku berusaha sekuat tenaga untuk bisa keluar dari kerumunan itu dan akhirnya kami bisa. Kami berdua bernapas lega karena bisa keluar dari sana.
“Astaga untung kita bisa keluar dari sana jika tidak, bisa pingsan kita nanti.” Ucap temanku dengan mengusap keringat yang bercucuran dari keningnya.
“Iya, syukurlah.”
Di tengah perdebatan yang tak kunjung selesai netraku tak sengaja melihat seorang laki-laki yang sedang duduk dengan segelas teh di tangannya. Dia melihat pada sekumpulan manusia yang masih terus berdebat tentang masalah sepele itu. Aku melihat dengan cermat ternyata dia seorang yang berkebutuhan khusus, jika aku tidak salah dia seperti seorang penderita cerebral palsy.
Di tengah bisingnya teriakan keegoisan manusia, aku melihat ketenangan dan kepolosan dari mata seorang laki-laki yang duduk tak jauh dari tempatku berdiri. Manusia-manusia yang hanya mementingkan diri sendiri dan tak pernah ingin mengalah untuk suatu hal yang mungkin dapat diselesaikan baik-baik. Dua pemandangan dalam satu waktu, aku marah sekaligus tenang. Jika aku berbalik dan melihat ke arah keributan pengunjung yang masih belum usai itu yang bahkan sampai ada anak kecil yang terluka karena terdorong-dorong dalam kerumunan itu, maka bola api dalam hatiku membara. Sementara, jika aku melihat seseorang yang tak jauh dari tempat aku berada, aku merasa bola api di dalam hatiku lenyap terganti dengan buliran air yang jatuh dengan pelan.
Seorang manusia yang tak pernah tahu dan tak bisa meminta untuk dilahirkan seperti apa yang diinginkan mungkin tak bisa menerima takdir yang seolah tak adil padanya, tapi itu terbalik dengan yang ku lihat ini. Seorang laki-laki istimewa tengah duduk dengan begitu ceria bersama orang-orang disekitarnya seolah tiada beban di pundaknya dan tak ada rasa sesal yang menghantui hidupnya atas takdir yang mungkin bukan keinginannya, jika ia bisa meminta.
Dia tertawa bersama orang-orang disekitarnya, beruntung orang disekitarnya mau menerimanya. Jujur aku tak bisa membayangkan jika yang terjadi adalah sebaliknya. Manusia yang terlahir tak sempurna bahkan masih bisa bersyukur dan menikmati hidupnya dengan bahagia walau tahu banyak kekurangan dalam dirinya. Bahkan yang ku lihat saat ini, dia tengah membagikan jajanan yang dia bawa di dalam tas usangnya itu. Dia tetap memikirkan orang lain dengan berbagi kepada orang lain, sedangkan di sebelah sana bahkan untuk mengalah dan bersyukur sudah dapat antrian untuk naik perahu saja tidak ada, mereka memilih berebut bahkan sampai membuat orang lain celaka.
Dunia macam apa ini yang sedang aku tinggali, di mana manusia yang sempurna terkesan tak pernah puas akan kesempurnaan yang dimilikinya, sementara yang tak sempurna justru jauh lebih bisa mensyukuri atas apa yang dimiliknya.
“Kau menangis?” Tanya temanku yang kini menoleh ke arahku, melihat aku yang tak kuasa menahan air mata ini.
“Ya, aku tak sanggup melihatnya. Sungguh, dia manusia yang sempurna. Dia Istimewa dan spesial di mata Tuhan. Dia memiliki hati yang suci, murni, dan bersih.”
“Lihatlah, bahkan dia yang tak sempurna pun masih bisa tersenyum mensyukuri apa yang dimilikinya. Dan matanya, aku yakin memang ada kesedihan tapi dia menerima takdirnya. Sedangkan di sebelah sana, bahkan untuk peduli dengan orang lain pun tidak. Keegoisan saja yang mereka miliki. Kau tahu maksudku kan? Kesal saja rasnya melihat hal itu.”
“Aku paham, aku juga tadi mendengar jika laki-laki itu ingin menaiki perahu dan kau tahu? Sebenarnya dia lebih dulu yang dapat antrian setelah kita, tapi ibu-ibu tadi menyerobot dan langsung meminta untuk dia lebih dulu menaikinya dan laki-laki itu menurutinya.”
Aku terkejut setelah mendengar apa yang diucapkan oleh temanku itu.
“Aku dengar dari bapak-bapak perahu tadi, waktu kau masih asik melihat bunga teratai itu. Bahkan katanya dia sampai dipaksa dan dimarahi oleh ibu-ibu itu.” Jawab temanku.
“Astaga, sungguh aku tak habis pikir. Bisa-bisanya.” Kini air mataku semakin tak kuasa ku tahan.
“Sungguh, dia teratai putih yang aku lihat di sana dengan bunga yang begitu cantik dari sekian banyaknya bunga teratai yang bermekaran. Dia seperti teratai putih.” Ucapku sembari melihat ke arah kerumunan yang kini telah usai dan seorang laki-laki yang dengan polosnya tetap tersenyum meski dunia tak adil padanya.
“Putih bersih, murni, dan suci itu dia, laki-laki dengan senyum polos dan wajah. Aku beruntung bisa melihat ciptaan Tuhan untuk yang kedua kalinya. Dia seperti teratai putih yang ku lihat tadi, sangat sempurna.” Ucapku dengan lembut sembari memandangi laki-laki yang kini masih tersenyum ceria.
“Dia, manusia tak sempurna, tak tampan dan rupawan, namun jika tentang hati diuji. Maka hanya akan menemukan kesempurnaan sejati yang tak ternilai dengan deretan angka, seperti teratai putih yang tak bisa dibayar dengan uang untuk bisa merasakan makna yang ada di dalamnya.”