Donat Tiramisu
Karya: Giska Melinda Putri
Sore yang begitu ramai di Jalan Gunung Muria. Penuh dengan manusia-manusia yang banyak mau, namun sedikit berusaha. Di setiap jalan yang kususuri terdapat banyak pedagang-pedagang makanan yang menyajikan jualannya kepada para target konsumennya. Aku salah satunya. Pencinta donat cokelat yang hampir setiap seminggu sekali mampir ke salah satu toko donat yang ada di dekat warung makan Anjana.
Aku yang telah terbiasa pergi sendiri dengan jalan kaki ke mana pun sudah tak lagi merasa lelah dan kaki pegal setelah berjalan seribu langkah. Mampir ke toko donat juga bukan masalah besar karena memang hanya sekitar seratus langkah dari kampusku berada. Aku masuk seperti halnya seorang pembeli yang ingin membeli sesuatu yang sedang dijual. Ketika aku masuk ke toko donat tersebut aku melihat ada nuansa baru dari toko ini, ya apa lagi kalau bukan menu baru dari donat yang dijual oleh toko ini.
“Kau lagi? Hem aku tau, donat cokelat satu kan?” Tanya seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik tirai pintu dapur toko donat. Dia pemilik toko donat ini.
Mendengar suara yang telingaku kenali netraku langsung mengarah pada manusia pemilik suara yang kini tengah melontarkan sebuah pertanyaan padaku.
“Hem, iya.” Jawabku singkat.
“Duduklah dulu aku mau mengambil donat yang baru kubuat di dapur dulu sebentar.” Ucap dia, kemudian pergi meninggalkanku yang masih berdiri di depan meja kasir.
Aku memilih duduk di samping jendela dengan pemandangan bangunan-bangunan yang dipenuhi dengan manusia-manusia penuh hasrat dan nafsu duniawi. Aku menghirup oksigen dengan rakus, kemudian mengembuskannya dengan panjang. Sunguh sangat melelahkan hari ini.
“Bagaimana kuliahmu? Berjalan dengan baik?” Kembali lagi aku mendengar suaranya yang kini sedang menarik kursi yang ada di depanku dengan dua cangkir kopi yang sudah terpajang di meja kayu berwarna cokelat tua.
“Ya, seperti biasa namanya juga kuliah yang konon katanya sudah dewasa dengan kemampuan yang sudah di atas rata-rata. Siap untuk menghadapi segala ujian dan cobaan yang menghadang.” Jawabku sedikit kesal, bukan padanya.
“Hey, hey. Kau ini, semua orang pasti punya ujiannya masing-masing. Buktinya aku juga sedang diuji oleh Tuhan.”
Aku terheran dengan perkataannya. Bukankah dia hidupnya bahagia-bahagia saja, kurasa. Kulihat juga toko donatnya selalu ramai pembeli, tapi untuk hari di mana aku datang untuk membeli donat entah kenapa salalu sepi. Apakah aku pembawa sial? Apakah aku ujiannya? Sialan dia jika mengataiku seperti itu nanti. Awas saja kau ya.
“Aku?”
“Ya, karena ada manusia dengan kecantikan dan kesederhanaanya yang begitu mempesona berada di depanku.”
Dalam hatiku ingin sekali kutarik rambutnya. Sungguh. Hari ini dia menyebalkan.
“Tidak usah kau merayuku, aku sedang kesal hari ini kau tahu?”
“Ya, aku tahu maka dari itu aku bawakan kopi ini untukmu. Masih hangat, minumlah sebelum dingin merebutnya.”
“Terima kasih.”
Kami berdua meminum kopi bersama di toko donat yang tak begitu mewah, namun tetap memepesona. Nuansa vintage yang terasa mampu membuat siapapun yang singgah di sini tak ingin pergi dari kehangatan dan kenyamanan suasana ini. Ditambah jika sore tiba tanpa hujan dan petir yang mengikutinya. Seolah semuanya semakin sempurna.
“Aku ada menu baru, kau cobalah. Aku ambil sebentar nanti kau ceritakan rasanya.”
“Baiklah.”
Tak butuh waktu lama dia mengambil menu baru dari donat yang dia buat dan pesananku yaitu donat cokelat.
“Donat tiramisu. Cobalah, aku membuatnya dengan sepenuh hati.”
Aku sedikit tertawa mendengar dia berkata seperti itu. Sepenuh hati katanya yang ada sepenuh tepung dan bahan lainnya mungkin. Aku menerima dan memakannya. Gigitan pertama saat aku memakan donat tiramisu yang dia berikan padaku sungguh rasanya luar biasa, bahkan donat cokelat yang selalu jadi kesukaanku kini seolah terkalahkan oleh donat tiramisu ini. Donatnya juga kurasakan sangat lembut dan begitu empuk, kurasa ini jauh lebih dari dari adonan donat yang biasa dia buat. Aku curiga jika dia menggunakan mantra untuk bisa membuat donat seenak ini. Sungguh ini enak sekali. Dia pantas kukatakan seorang patiser yang luar biasa.
“Ini enak sekali sungguh. Kurasa kau sudah cocok jadi pemilik toko donat se antero kota ini. Ini enak sekali bahkan lebih enak dari donat cokelat yang ku makan.”
“Benarkah?”
“Iya, kurasa aku akan berganti untuk menyukai donat tiramisu ini.”
Dia tersenyum padaku. Ya, siapa orang yang jika dipuji tidak tersenyum atau tersipu malu, kecuali jika dia tidak normal. Kurasa.
“Ya, aku harap itu juga sepertimu.”
Aku yang sedang memakan donat tiramisu yang begitu enak terkejut mendengar ucapan yang dia lontarkan. Aku tersedak, tapi tidak telalu. Melihat aku tersedak dia dengan cepat memberikan secangkir kopi padaku. Lalu aku meminumnya perlahan.
“Kau tidak apa-apa?” Tanyanya padaku dengan wajah khawatir.
“Iya. Kau tadi mengatakan apa? Maksudmu sepertiku apa? Apa kau mengejekku seperti donat?”
“Tidak, bukan itu maksudku.”
“Lalu?”
“Aku hanya ingin kau juga melihat dan merasakan bahwa ada seseorang yang selalu berusaha untuk memberimu cinta dalam hidupmu, yang selalu ingin dianggap ada olehmu dan yang berharap untuk bisa dicintai olehmu.”
Baru kali ini aku mendengar dia berkata seperti itu ditambah nada bicara dan ekspresi yang dapat ku tebak dia seirus mengatakannya. Biasanya tidak. Aku terkejut mendengarnya. Tapi, aku paham maksudnya.
Aku tersenyum singkat, lalu meletakkan donat tiramisu yang sudah setengah lebih ku makan.
“Kuharap ini bukan tentang aku, dia, dan kamu.”
Setelah aku membalas ucapannya kami berdua sama-sama terdiam. Dan seketika alunan musik klasik terdengar di ruangan yang tak begitu luas ini. Kami kembali menatap ke arah jalanan sambil meminum secangkir kopi dan hampir dingin. Tak terasa senja pergi perlahan meninggalkan pagi untuk menjemput malam yang sunyi. Kami kembali seolah tak terjadi apa-apa, karena kami menitipkan kepada semilir angin yang singgah di tempat kami berada untuk membawa segala cerita pada awan yang siap untuk menurunkannya sebagai hujan.