Ketika Kisah W.S. Rendra Dihidupkan di Panggung Mahasiswa

Purwokerto──Lampu panggung perlahan menyala, menampilkan sebuah tikungan jalan yang sunyi pada malam hari. Di ruang inilah pementasan Orang-Orang di Tikungan Jalan karya W.S. Rendra dimulai. Pementasan yang digarap oleh mahasiswa dalam proyek penyutradaraan ini tidak hanya menghadirkan pertunjukan teater, tetapi juga membuka ruang refleksi tentang kehidupan manusia yang berada di pinggir jalan dan kerap terabaikan dalam kehidupan sosial.

Naskah karya W.S. Rendra ini mengisahkan tokoh-tokoh yang berasal dari lapisan masyarakat bawah. Joko, Sri, Surati, Tarjo, hingga sosok pemabuk, hadir sebagai manusia dengan latar belakang persoalan yang saling terkait. Cerita bergerak melalui relasi antar tokoh yang dipenuhi konflik cinta, pengkhianatan, kemiskinan, dan penyesalan. Alur pementasan memperlihatkan bagaimana keputusan-keputusan yang diambil para tokoh berdampak pada hubungan keluarga dan kondisi sosial di sekitarnya, hingga menghadirkan berbagai konsekuensi yang tidak dapat dihindari.

Sumber: Orang-orang di Tikungan Jalan (Dokumentasi Pribadi)

Untuk menghidupkan cerita tersebut, para aktor dituntut menguasai naskah yang sarat bahasa sastra. Dialog-dialog yang panjang dan padat makna menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi mahasiswa yang baru pertama kali mementaskan karya W.S. Rendra. Selain menghafal dialog, para aktor juga harus menyesuaikan ekspresi wajah, intonasi suara, dan gerak tubuh agar makna cerita dapat tersampaikan kepada penonton.

Di antara para pemain, aktor pendamping memiliki peran yang tidak kalah penting. Salah satu tokoh pendamping memerankan penjual wedang kacang yang muncul pada adegan malam hari di tikungan jalan. Meski tidak memiliki dialog utama, tokoh ini berfungsi membangun suasana sosial panggung. Kehadiran penjual wedang kacang memberi kesan kehidupan malam yang nyata, sekaligus menjadi latar yang memperkuat konflik para tokoh utama.

Peran tersebut menuntut kepekaan tinggi. Aktor pendamping harus tetap aktif secara visual tanpa mengalihkan perhatian penonton dari dialog utama. Untuk mengatasi tantangan ini, aktor banyak berdiskusi dengan sutradara. Berbagai aktivitas kecil, seperti mengatur dagangan atau membersihkan peralatan, dirancang secara sadar agar selaras dengan alur cerita. Proses ini menunjukkan adanya kerja sama dan komunikasi yang intens dalam penyutradaraan.

Sumber: Orang-orang di Tikungan Jalan (Dokumentasi Pribadi)

Seiring berjalannya pementasan, perhatian penonton semakin tertuju pada tokoh pemabuk. Tokoh ini digambarkan sebagai manusia yang hidupnya telah hancur, tetapi masih memiliki ikatan emosional dengan anaknya. Adegan pertemuan dengan anak yang mengalami gangguan mental menjadi titik emosional paling kuat. Pada bagian ini, penonton diajak menyaksikan bagaimana penyesalan datang terlambat dan bagaimana keputusan yang salah dapat meninggalkan luka panjang bagi keluarga.

Bahasa sastra yang digunakan dalam pementasan ini memberi warna tersendiri. Di satu sisi, bahasa tersebut terdengar indah dan berkelas. Namun di sisi lain, tidak semua makna mudah dipahami oleh penonton awam. Meski demikian, kekuatan ekspresi aktor, pengaturan panggung, dan suasana emosional mampu membantu penonton menangkap pesan utama cerita tanpa harus memahami setiap kata secara harfiah.

Sumber: Orang-orang di Tikungan Jalan (Dokumentasi Pribadi)

Bagi penonton yang baru pertama kali menyaksikan penyutradaraan mahasiswa, pementasan ini memberikan pengalaman yang berkesan. Pementasan terasa berbeda karena keberanian menggunakan naskah sastra yang kompleks dan menuntut kedisiplinan tinggi. Setiap aktor memiliki tanggung jawab untuk menghidupkan cerita secara utuh, bukan sekadar mengucapkan dialog.

Lebih jauh, pementasan Orang-Orang di Tikungan Jalan tidak hanya menjadi ajang pertunjukan, tetapi juga ruang pembelajaran. Bagi mahasiswa yang terlibat, proyek ini melatih kerja sama tim, ketekunan dalam proses, serta keberanian menghadapi tantangan artistik. Ketidaksempurnaan yang muncul selama proses justru menjadi bagian dari pembelajaran kreatif.

Melalui cerita di tikungan jalan tersebut, pementasan ini menyampaikan pesan moral yang jelas: setiap keputusan memiliki dampak jangka panjang, dan pelarian dari masalah sering kali melukai orang-orang terdekat. Kritik sosial yang disampaikan W.S. Rendra tetap relevan dan terasa dekat dengan kehidupan masa kini.

Ketika pementasan berakhir dan lampu panggung kembali padam, cerita tidak ikut menghilang. Ia tertinggal dalam ingatan aktor yang belajar memahami peran dan diri mereka sendiri, serta dalam benak penonton yang pulang dengan cara pandang baru terhadap seni teater. Dari sebuah tikungan jalan sederhana, seni pertunjukan membuktikan dirinya sebagai medium yang mampu menyentuh emosi dan menyadarkan manusia tentang kehidupan.

Editor: Alya Martzalyanti

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *