Nisan
Untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
Oktober, 1942
Puisi singkat yang sederhana ini berhasil membawa duka dan segala gejolak rasanya. Chairil Anwar, sastrawan muda yang telah lama tutup usia menyampaikan rasa duka dalam sajak pertamanya dengan judul “Nisan”. Puisi ini lahir ketika ia mendengar kabar kematian neneknya. Kematian, takdir yang tidak dapat dihindari oleh siapa saja, takdir pasti yang tidak bisa ditunda barang sejenak oleh manusia. Karena perihal kematian, sepenuhnya kehendak Tuhan.
Meski puisi ini singkat, tapi maknanya begitu dalam. Duka yang Chairil rasakan membuatnya merenung tentang kematian, takdir pasti yang dikehendaki oleh Tuhan. Begitu rela neneknya dalam menerima segala takdir (kematian) yang tiba menghampirinya. Padahal, kematian itu datang dengan bengis tanpa sapa atau aba-aba. Tapi, ini adalah takdir Sang Kuasa, hanya Dialah yang menghendaki semuanya. Sebagai hamba, kita tidak berdaya dan tidak kuasa.
Puisi “Nisan” karya Chairil Anwar memberikan kita pesan bahwa kematian adalah hal pasti yang akan dialami oleh semua makhluk ciptaan Tuhan. Kita sebagai hamba yang tidak berdaya dan tidak berkuasa, maka yang bisa kita lakukan adalah menerimanya dengan hati yang rela segala takdir yang tiba menghampiri. Kematian akan datang tanpa aba-aba, jadi sudah seharusnya kita terus menyiapkan diri dengan bekal amal baik sebanyak-banyaknya dan hati yang rela. Bagiamana pun juga, kita adalah seorang hamba, yang tak berdaya jika Tuhan dengan kuasanya telah berkehendak kepada kita.