Semua mata dan pikirnya tidak tertuju pada titik akhir yang sama. Namun, menyebalkannya mereka amat, teramat apatis. Lalu apa guna jika termangu, seolah terduduk karena patuh. Bukankah mereka sendiri memilih diam di sini, lantas mengapa mereka juga yang ingin segera pergi?
Suara-suara, dengung, atau lantunan yang masing-masing ditangkap sepasang, mereka lalu-lalang, seperti lampu-lampu kendaraan di malam yang panjang. Diskusi apa yang diharapkan hadir dalam pemandangan seperti ini? Kata, kutu, kantuk. Mereka harap, hadir kisah percintaan seperti di film-film? Atau kisah heroik yang membuat dirinya justru jatuh problematik.
Kamu pikir tidak ada yang peduli. Tapi ada mata, bahkan di setiap sudut telingamu. Proyektor tidak berhasil mengalahkan proyeksimu yang berceceran antah berantah.
Aku melihatnya lagi, kabel yang menjuntai, lunglai.
Bagaimana hubungan antara dinding dengan telinga, yang masih menghantarkan bising luar dan bising dalam. Himbauan itu kembali muncul, tepat di hadapanku. Berlatar merah, apakah ia menantang, mencecar, atau justru membawa tatapan penuh cinta. Himbauan atau imbauan? Untuk kedua kalinya, gawaiku berbisik ke telingaku, “Imbauan adalah bentuk kata baku dalam bahasa Indonesia.” Telingaku geli, mulutku membulat.
Strategi apa lagi yang mengejarmu dan kau kejar? Tanda tanya mengepung, tapi titik tidak mau hadir sekarang, ia jenuh dengan manusia-manusia tak berdasar.
Lantas tujuan, kamu berharap siapa yang akan menuntunmu pulang siang nanti? Kawan, kerabat, pacar, sahabat, tidak. Hanya sepasang sepatu yang menjadi tumpuan doa-doa ibu untuk anaknya. Dan kasur di kamar tidak sabar menanti hadirmu. Punggungmu lelah? Punggungku juga.
Segala sudut pandang pasti adalah keindahan bermakna, ketika tidak menemukan lubangnya. Tapi lubang bukan berarti buruk, hanya saja ia termakan oleh udara dan waktu. Karena waktu tidak punya hidangan, tapi selalu saja menyantap luka yang lubang, untuk dilupakan. Lalu, pandanganku padamu yang tidak pernah kalah oleh waktu. Rindu.
Kembali pada dinding putih, yang tiba-tiba saja bertengger kotak hijau. Aku sudah tidak peduli pada mereka yang tadi kusebut apatis. Di setiap sudut tempat ini, manusia lalu-lalang beserta kenangannya. Di sisi kiri aku pernah duduk bersamamu. Di sisi depan aku pernah mendengarmu. Di sisi kanan, kamu terjebak di dalam puisiku. Di belakang, kamu menuntun pada lajur waktu yang tidak kalah ditentu.
Selamat siang, selamat tidur siang.