Tiga Hari Menyusuri Jagat Rasa: Dari Riuh Kampung hingga Sunyi Singgasana

Pementasan Jagat Rasa 2025 (Foto: dokumentasi pribadi)

Selama tiga malam berturut-turut Aula Bambang Lelono berubah menjadi ruang perjalanan rasa. Panggung yang sama menghadirkan wajah kehidupan yang berbeda setiap harinya. Lewat rangkaian pementasan Jagat Rasa 2025 mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia angkatan 2023 mengajak penonton menelusuri dunia manusia dari sudut yang paling dekat dengan keseharian hingga yang paling jauh dari keramaian.

Hari pertama dibuka dengan suasana yang terasa akrab. Panggung dipenuhi gambaran kehidupan kampung yang padat dan ramai. Pabrik sederhana, perabot kayu, dan latar yang terasa hidup, menghadirkan kesan lingkungan tempat orang-orang bekerja berbincang dan bertahan bersama. Ruang sempit di atas panggung justru memperlihatkan betapa kampung adalah tempat berbagai cerita saling bertemu antara mereka yang berkecukupan dan mereka yang hidup pas-pasan.

Di tengah kepadatan itu ada rasa hangat yang tak sepenuhnya padam. Seperti matahari yang terus terbit, harapan tetap menyelinap di antara keterbatasan. Kampung tidak digambarkan sebagai ruang yang ideal tetapi sebagai tempat manusia belajar bertahan, berbagi, dan berkonflik tanpa kehilangan rasa kebersamaan.

Suasana berubah ketika pertunjukan hari kedua dimulai. Keramaian kampung bergeser ke ruang jalanan yang kasar dan tak menentu. Panggung kali ini terasa lebih gelap, lebih berantakan, dan jauh dari kesan nyaman. Bangku kayu seadanya dan dinding penuh tempelan menjadi penanda ruang persinggahan tempat orang-orang datang dan pergi tanpa kepastian.

Jalan dalam pementasan ini bukan sekadar latar, melainkan simbol kehidupan yang bergerak tanpa arah pasti. Di ruang inilah berbagai karakter bertemu membawa masalah dan latar belakang masing-masing. Tidak ada tempat untuk menetap lama, yang ada hanya jeda singkat sebelum kembali menghadapi kerasnya realita. Tikungan jalan menjadi saksi bagaimana manusia bertahan di ruang publik yang sering kali menyingkirkan mereka.

Pementasan hari ketiga membawa penonton ke suasana yang jauh berbeda. Panggung tampak lebih lengang, lebih tenang, dan terasa sakral. Ornamen khas Bali memberi nuansa tradisi dan keteraturan, tetapi justru menghadirkan kesunyian yang kuat. Di tengah panggung sebuah kursi berdiri sendiri menjadi pusat perhatian sekaligus simbol kekuasaan.

Ruang yang lapang namun kosong itu memperlihatkan rasa sepi di balik jabatan dan wewenang. Kekuasaan digambarkan bukan sebagai puncak kebahagiaan, melainkan sebagai ruang yang penuh tekanan batin dan pilihan sempit. Bayangan yang bermain di panggung seolah menegaskan bahwa tidak semua hal terlihat jelas bagi mereka yang berada di lingkar kuasa.

Jika dirangkai tiga pementasan dalam Jagat Rasa 2025 membentuk perjalanan ruang kehidupan manusia. Kampung menghadirkan kebersamaan dan harapan, jalanan memunculkan konflik dan perjuangan, sementara singgasana menyisakan sunyi dan keterasingan. Semua ruang itu dibangun dengan material yang sederhana tetapi mampu menyampaikan makna yang kuat.

Melalui Jagat Rasa para mahasiswa menunjukkan bahwa teater tidak selalu membutuhkan panggung megah atau properti mahal. Yang terpenting adalah keselarasan antara ruang, cerita, dan rasa. Di atas panggung sederhana itu penonton diajak menyadari bahwa dimanapun manusia berada, di kampung, di jalan, atau di singgasana, ia tetap berhadapan dengan persoalan yang sama, yaitu bagaimana memahami diri dan bertahan di dunia yang terus bergerak.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *