Erni Widyawati: Mengajar dengan Hati, Menyalakan Empati di Tengah Generasi

Erni Widyawati, Guru Sosiologi (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Purwokerto — Di ruang kelas SMA Negeri 1 Sokaraja, suasana berubah ketika Erni Widyawati memasuki ruangan. Dengan senyum yang hangat, ia menyapa para siswa lalu mulai membuka percakapan tentang fenomena sosial yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hampir 20 tahun ia berdiri di depan kelas yang sama sejak Januari 2005, menjadikan sekolah ini bukan sekadar tempat mengajar, melainkan rumah kedua tempat ia mengabdi sepenuh hati.

Motivasi Erni untuk menjadi pendidik lahir dari pengalaman keluarga. Ia tumbuh bersama seorang ibu rumah tangga yang selalu menekankan bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengubah hidup. Dari pengalaman itu muncul tekad untuk menjadi pegawai negeri agar dapat memberi kehidupan yang lebih baik bagi keluarga dan memberikan kontribusi bagi masyarakat. Saat melanjutkan kuliah, hatinya tertambat pada sosiologi. Bagi Erni, sosiologi adalah cara pandang yang membantu generasi muda memahami masyarakat, membentuk karakter, dan menumbuhkan kepedulian. “Saya ingin generasi muda tidak hanya cerdas akademik tetapi juga memiliki kepedulian sosial,” ujarnya.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Sejak awal mengajar, Erni tidak ingin pembelajaran sosiologi hanya berhenti di buku teks. Ia selalu berusaha menghadirkan suasana kelas yang hidup melalui diskusi, studi kasus, hingga pengamatan langsung terhadap lingkungan sekitar. Murid-murid diajak memperhatikan interaksi sederhana di kantin sekolah, memahami pentingnya sopan santun, atau bekerja sama dalam proyek kewirausahaan. Dari hal-hal kecil ini, ia menanamkan kesadaran bahwa nilai gotong royong, kebersamaan, dan empati adalah bagian penting dari kehidupan bermasyarakat.

Perjalanannya tidak selalu mulus. Erni melihat bagaimana anak-anak generasi sekarang kian larut dalam gawai dan media sosial, hingga sering kali mengikis kepedulian terhadap sesama. Namun, ia tidak menyerah. Ia meyakini pendidikan sejati bukan sekadar mengajarkan kecerdasan intelektual, tetapi juga menumbuhkan empati. “Kalau pintar saja tidak cukup. Kalau tidak punya empati, semua jadi sia-sia,” tegasnya. Keyakinan itu menjadi pegangan kuat yang membuatnya terus bertahan, meskipun tantangan zaman semakin besar.

Ada pengalaman yang selalu ia kenang dan menjadi sumber semangat dalam perjalanan panjangnya. Seorang siswa pernah datang padanya dan berkata bahwa ia ingin melanjutkan kuliah di jurusan sosiologi karena terinspirasi oleh pelajaran yang diberikan Erni. Bagi Erni, pengakuan sederhana itu lebih berharga daripada penghargaan atau piagam apa pun. Di sanalah ia melihat bukti nyata bahwa perannya sebagai guru mampu memengaruhi jalan hidup muridnya.

Hampir dua dekade pengabdian itu kini membuahkan hasil yang dapat dirasakan banyak pihak. Siswa-siswa yang ia didik tumbuh menjadi pribadi yang kritis, peduli, dan berani mengambil peran di masyarakat. Orang tua merasakan perubahan sikap anak-anak mereka, sekolah bangga dengan prestasi dan karakter para siswa. Masyarakat ikut menikmati dampak positif dari generasi yang lebih empatik. Semua itu lahir dari kerja tulus seorang guru yang percaya bahwa pendidikan sejati adalah tentang membentuk manusia seutuhnya, bukan hanya yang cerdas dalam angka, tetapi juga yang lembut dalam hati.

Erni Widyawati telah menjadikan dirinya teladan tentang arti sebuah pengabdian. Ia adalah sosok yang mengajar dengan hati dan menyalakan empati di tengah generasi. Perannya membuktikan bahwa seorang guru bisa menjadi cahaya kecil yang menerangi jalan perubahan bagi banyak orang di sekitarnya.

Editor: Alvina Putri Rustanti

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *