Tri Asiati, dari Warung Prancis untuk Mentalitas Bangsa

Gambar: Tri Asiati (Sumber: staff.unsoed.ac.id)

Madam Hermawan atau biasa dipanggil Asia saja, karena dalam budaya Prancis menggunakan nama panggilan adalah bentuk keakraban. Asia merupakan seorang staf pengajar dari D3 Bahasa Mandarin dan memiliki kompetensi di bidang Sastra Prancis sesuai dengan program sarjana yang ia tempuh di Universitas Gadjah Mada yaitu Sastra dan Budaya Prancis. Setelah lulus sarjana, Asia melanjutkan Pendidikan ke Universitas Indonesia dan mengambil Jurusan S2 Pengajar Bahasa Prancis Bagi Penutur Bukan Orang Prancis.


Lahir di desa kecil di Temanggung, Jawa Tengah, tidak membuat mimpinya menjadi seorang akademik bahasa asing menjadi mustahil. Anak ke tiga dari tiga bersaudara ini melanjutkan kuliahnya ke Eropa tepatnya di Prancis dengan beasiswa penuh. Segala tantangan ia hadapi dari mulai adaptasi budaya orang Prancis yang jauh berbeda hingga penyesuaian diri dengan makanan barat yang sulit diterima oleh lidah Jawa yang terbiasa makan nasi dan gudeg. Asia tetap berjuang menempuh pendidikan tinggi karena itulah harta paling berharga baginya.


Sejak usia SMP Asia sudah bekerja sebagai tutor bahasa Inggris. Bahasa asing menjadi satu jalan bagi suatu bangsa untuk maju. Setelah kuliah di Prancis, Asia pulang ke Indonesia dan mendapatkan rekomendasi dari Korprodinya untuk menjadi dosen di Universitas Jenderal Soedirman. Ia mengabdikan diri di Fakultas Ilmu Budaya sebagai staf pengajar bahasa Mandarin. Meskipun bahasa yang diajarkan tidak linear, Asia tetap berdedikasi untuk mengajar karena ilmu tidak dilihat darimana didapatkan tapi bagaimana ilmu bisa diterapkan di dunia nyata. Memiliki kemampuan berbahasa Prancis yang tinggi bukan berarti terbatas harus mengajar bahasa Prancis saja tetapi juga disiplin ilmu lain harus bisa diterapkan.


“Keilmuan dari dosen bisa ditempatkan dimanapun. Bagi saya hal itu tidak perlu dipertanyakan karena kita harus berorientasi pada bagaimana suatu ilmu itu dikembangkan dan diterapkan, memastikan keberlanjutannya dan keberlangsungannya kemudian bagaimana kita mengembangkannya. Jadi tidak ada yang namanya ilmu itu stagnan atau terkotak-kotakkan.” Tuturnya saat diwawancarai di Warung Prancis Gedung UPT Unsoed lantai 3. Asia yakin, ilmu itu dapat ditransfer secara fleksibel dari siapapun dan untuk siapapun, termasuk ilmu alih bahasa.


Hingga sekarang ia telah menjadi penanggung jawab Warung Prancis Universitas Jenderal Soedirman yang berdiri tahun 2014. Menjadi jembatan atau perantara Kedutaan Prancis dengan universitas-universitas yang berhubungan dengan kedutaan di bidang pendidikan bahasa Prancis. Wanita kelahiran 1986 itu juga menjadi koordinator terbaik dalam Warung Prancis se-Indonesia. Namun segala gelar dan kehormatan itu sudah bukan sesuatu yang perlu diagungkan baginya. Asia hanya ingin menjadi seseorang yang bisa bermanfaat dan memiliki kompetensi yang sesuai dengan koridornya yaitu penguasaan dan pengajaran bahasa asing di kampus.


“Saya berharap mahasiswa itu dapat terbiasa berinteraksi dengan orang asing, tetapi tidak ikut larut dalam budaya asing itu sendiri. Maka dari itu pendidikan bahasa dan budaya merupakan jalan terbaik untuk mengedukasi bagaimana cara kita membentuk mentalitas bahwa semua bangsa itu sama. Termasuk bangsa Indonesia seharusnya bisa menyesuaikan diri agar setara dengan bangsa asing”, ungkapnya. Asia tidak hanya menggembar-gemborkan bahwa kita harus menguasai bahasa asing tetapi juga memiliki mentalitas yang sama dengan mereka yang berkulit putih. Di Warung Prancis dia utarakan harapannya agar bangsa kita bisa menjadi bangsa yang maju dan tidak lagi menjadi bangsa yang minderan atau tidak memiliki mentalitas maju.

Editor : Hayuningtyas Sekar Purlitasari

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *