Cerita Pendek Berjudul “Indra Keenam” Karya Giska

Indra Keenam

Karya: Giska Melinda Putri

Mentari pagi muncul dari arah timur bersama nyanyian merdua ayam jago yang tak pernah tertinggal untuk ikut tampil. Langit biru dan awan putih yang menghiasi bumi dan hamparan rumput berwarna hijau di atas alas berwarna cokelat yang sering kita sebut sebagai tanah. Sungguh indah pagi ini, nyaman, aman dan damai. Kupikir akan begitu dengan pagiku di hari Senin yang konon katanya hari keramat. Ternyata tidak. Saat aku sudah siap untuk sarapan, kemudian berangkat ke sekolah tercinta ternyata aku mengalami kejadian yang sangat di luar nalar. Pagi yang cerah dan bahagiaku, gagal sudah.

“Ma, mama liat buku tugasku tidak ya? Kemarin aku taruh di meja belajar, kok sekarang gak ada ya? Masa ada yang curi sih, orang buku jelek gitu mana isinya nilai merah semua lagi ehehe.” Tanyaku pada mama yang terlihat sibuk di dapur menyiapkan sarapan.

“Kebiasaan, ya mana mama tahu. Itukan buku kamu bukan buku mama.” Jawab mama cukup singkat tapi menusuk hati mungilku.

“Mahh, aku serius dua rius malah. Aku gak mungkin pikun kan naruh buku tugas yang teramat berharga itu sembarangan?” Jawabku dengan yakin.

“Iyain aja deh. Udah sini sarapan.” Ajak mama padaku, bukannya memberiku solusi malah mengajakku sarapan.

“Mamaaaaa, nangis nih.” Akanku keluarkan jurus andalanku hahaha.

Aku berharap mama mampu terhipnotis oleh tampangku yang imut dan memelas ini. Sungguh diriku kali ini tak berdaya, mama harus menolongku.

“Coba cek di bawah kasur kamu.” Singkat, hanya satu kalimat tanpa konjungsi penghubung pertanda adanya kalimat berikutnya.

“Mana mungkin di bawah kasur, Ma. Emang aku belajar sampai di bawah kasur? Guling-guling gitu aku belajarnya? Kurang kerjaan banget aku, Ma kalau gitu.” Aku tidak percaya karena lagi-lagi aku yakin bahwa aku bukan orang yang ceroboh.

“Cek dulu coba, kalau mama bener uang saku kamu hari ini buat belanja mama ya?” Jawab mamaku yang berhasil membuat jantungku bergetar, bergoyang, dan lemas seketika.

“Ma, gak gitu juga konsepnya.”

“Udah sana cek nanti telat baru tahu rasa, dihukum sama guru tuh rasanya pahit tahu bukan manis kayak senyumnya papa.”

Inilah mamaku, baik tapi juga kadang bikin aku mengelus dada tiap hari. Tapi aku bersyukur memilikinya. Kembali ke awal, akhirnya aku pergi ke kamarku untuk memastikan apakah benar yang diucapkan mamaku itu. Sungguh aku sedikit tidak percaya karena akukan orangnya tidak ceroboh dan juga tidak pelupa, menurutku.

Aku sudah sampai di kamarku, kemudian aku mencari di bawah kasur tercintaku. Kasurnya bergambar ultraman, serius. Aku suka. Setelah satu abad aku mencari maksudku satu menit mencari akhirnya aku menemukan buku tugasku yang selama ini aku cari hingga ke ujung dunia lebih tepatnya ujung bawah kasurku. Aku terkejut sekaligus heran padahal kemarin aku hanya belajar di meja belajar tidak sampai main guling-guling hingga ke bawah kasur yang gelap gulita ini. Dan lagi, semalaman aku di kamar dan tidak keluar kamar juga pintu kamar ku kunci dari dalam. Aku yakin tidak ada siapapun yang masuk ke dalam kamarku, termasuk mama. Tapi, kok bisa mama tahu bukuku tiba-tiba ada di bawah kasur? Kok bisa?

***

Aku masih heran dengan kejadian tadi pagi tidak mungkin bukan mamaku belajar ilmu hitam, dukun atau apalah itu? Sampai-sampai mamaku tahu barangku yang hilang ada di mana. Aku memikirkan terus sampai ke sekolah. Tapi, hilang tiba-tiba saat bertemu teman-teman sekolahku yang super cerewet itu. Aku menghabiskan setengah hariku di sekolah. Belajar, bermain, dan berlatih. Karena besok ada penilaian Seni Budaya yang mengharuskan kami semua untuk menunjukkan bakat terpendam. Bakatku? Entahlah akupun tak tahu, tapi aku dipaksa untuk tampil menari tari tradisonal.

Hari ini aku pulang sekolah lebih awal karena tidak ada latihan karena kata teman-temanku meminta untuk menyisakan dua hari untuk istirahat sebelum tampil cetar membahana. Syukurlah karena hari ini aku juga sangat lelah setengah hari belajar di sekolah ditambah aku pulang jalan kaki. Anak yang sederhana bukan? Jujur saja aku ini anak yang baik, tidak sombong, rajin menabung, tidak pelupa, dan pastinya tidak ceroboh, pikirku. Sesampainya di rumah aku langsung bersih-bersih dan menaruh semua barang-barang di kamar.

Keesokan paginya aku kembali dengan emosi tingkat dewaku. Aku lagi-lagi tidak menemukan di mana selendang tariku yang semalam tidak ku sentuh sedikit pun. Tidak kukeluarkan juga dari lemari pakaianku, masih tersimpan dan tertata rapi sejak dua hari yang lalu. Sungguh. Tapi di pagi yang cerah ini aku harus kembali bermasalah dengan barang yang tak kunjung ku temui. Padahal aku sudah hampir terlambat untuk datang ke sekolah, hari ini aku akan tampil menari bersama teman-temanku. Dan aku kini masih sibuk mencari lebih tepatnya mengobrak-abrik seisi lemariku untuk mencari selendang tariku. Aku mencari dengan sangat baik meski sambil emosi yang membara dan menyulut hinga ke rumah tetangga. Bercanda.

Aku yang semakin khawatir karena tak kunjung ku temui selendang tariku itu tiba-tiba dikejutkan oleh mamaku yang datang mencariku karena tak kunjung datang untuk sarapan.

“Ka! Kamu kenapa berantakin lemari kamu? Kurang kerjaan kamu pagi-pagi? Mending bantuin mama di bawah cuci piring gitu kan ada baiknya daripada berantakin lemari sendiri. Kenapa sih?” Panggil mamaku yang dilanjut dengan kekagetan mamaku melihat kamarku yang sudah seperti kapal pecah.

“Selendang tariku hilang, Ma. Aku yakin aku menyimpannya di lemari, tapi ini aku cari sampai ke rongga-rongga lemari pun tidak ada. Padahal aku ada penilaian tari pagi ini, Ma. Bagaimana ini?” Jawabku dengan rasa khawatir dan sedih.

“Haduh, kebiasaan deh. Kamu itu ya, udah mama bilangin berkali-kali kalau naruh barang itu yang benar jangan asal.”

“Tapi, Ma. Aku serius nyimpen di lemari dan enggak aku keluarin sama sekali.”

“Ya udah sana sarapan dulu, mama yang cari.” Kata mamaku dengan tegas.

Baiklah mamaku akhirnya turun tangan, tapi bahkan sampai aku cari ke detail yang paling kecil, rumit, dan sulit selendangku tak kunjung kutemui. Sungguh, aku mencarinya dengan sepenuh hati dan sedikit emosi tapi tidak ketemu juga. Sekarang mama justru menyuruhku untuk turun dan sarapan sementara aku masih khawatir soal selendangku itu.

Mama memaksaku turun karena kesal melihatku yang semakin tak karuan mengobrak-abrik lemari pakaianku. Aku pasrah dan turun ke bawah untuk sarapan. Dengan menangis aku tetap berusaha untuk sarapan karena kasihan ayam goreng yang enak ini jika aku biarkan. Bisa dosa aku. Jadilah aku makan sambil menangis.

Tak berselang lama, kemudian mamaku turun dengan membawa sehelai kain yang sedari tadi kucari sampai ke pusat bumi tak kunjung kutemui dan sekarang? Tak butuh waktu sampai lima menit, selendang yang kucari itu berhasil ditemukan oleh mamaku. Padahal aku sudah mencarinya cukup lama dan detail sekali tapi tidak kutemui juga. Tapi mama? Berhasil. Ini aku yang kurang jago dalam mencari atau mama yang punya kekuatan super?

Dua kali sudah mama melakukan hal luar biasa. Aku tidak menyangka setiap aku kehilangan barang atau aku sedang mencari barangku dan aku tidak menemukannya sampai cukup lama bahkan sampai aku menangis tak kunjung juga aku temukan. Tapi, saat mamaku turun tangan dan mencarinya seketika wushh barang yang kucari langsung ketemu oleh mama. Aneh tapi nyata, memang. Aku curiga kalau mamaku punya indra keenam. Sungguh.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *