Remaja Putri Rentan Anemia, Ahli Gizi Puskesmas 2 Pekuncen Angkat Bicara

Sumber: Dokumen Pribadi

Lemah, pucat, dan mudah lelah merupakan gejala anemia yang kerap dialami remaja putri tanpa disadari. Fenomena ini bukan hanya masalah individu, melainkan persoalan kesehatan masyarakat. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sekitar 32 persen remaja putri di Indonesia mengalami anemia, dengan sebagian besar disebabkan kekurangan zat besi.

Ahli Gizi Puskesmas 2 Pekuncen, Banyumas, Laeli Muqodimah, menuturkan bahwa anemia pada remaja bukan sekadar “kurang darah”, tetapi kondisi gizi yang kompleks. “Secara medis, anemia ada kategori ringan, sedang, dan berat. Dari pengalaman di lapangan, kasus terbanyak yang saya temui adalah anemia ringan dan sedang,” jelasnya.

Meskipun lebih sering menyerang remaja putri, anemia juga bisa terjadi pada remaja putra dengan jumlah yang lebih sedikit. Puskesmas 2 Pekuncen rutin melakukan skrining hemoglobin (Hb) pada remaja putri dan putra kelas 7, serta skrining khusus untuk remaja putri kelas 10.

Dari sisi gizi, faktor utama yang memengaruhi hemoglobin adalah zat besi, meskipun mikronutrien lain juga ikut berperan. “Itu sebabnya penanganan anemia tidak cukup hanya dengan obat. Edukasi tentang pola makan seimbang tetap penting agar remaja mendapat asupan zat besi dari protein hewani, sayuran hijau, dan sumber gizi lain,” tambah Laeli.

Sayangnya, gaya hidup modern membuat banyak remaja memilih pola diet tidak seimbang. Sebagian besar membatasi makan karbohidrat atau melewatkan jam makan tertentu, yang pada akhirnya mengurangi kecukupan zat besi. Kondisi ini sejalan dengan penelitian Kementerian Kesehatan yang menyebutkan bahwa remaja putri dengan pola diet ketat berisiko dua kali lipat mengalami anemia.

Dampak anemia tidak bisa dianggap remeh. Selain menurunkan stamina, kondisi ini juga memengaruhi konsentrasi belajar, produktivitas, hingga kesehatan reproduksi. Dalam jangka panjang, tingginya angka anemia remaja dapat berdampak pada kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Sebagai langkah pencegahan, pemerintah menggencarkan program tablet tambah darah (TTD) di sekolah. Namun efektivitasnya bergantung pada kesadaran remaja untuk tetap menjaga pola makan seimbang. Peran keluarga dan sekolah juga penting dalam membentuk kebiasaan gizi sehat.

Sebagai penutup, Laeli menegaskan bahwa banyak remaja putri terjebak pada pola diet ketat demi memenuhi standar kecantikan yang dianggap ideal. “Banyak remaja melihat kurus itu cantik. Padahal cantik tidak cukup dari fisik saja, melainkan juga dari dalam. Dengan pola makan bergizi, seimbang, dan teratur, tubuh bukan hanya tampak sehat, tapi juga terhindar dari anemia. Itu kecantikan yang sesungguhnya,” ujarnya.

Pesan ini menjadi pengingat penting bahwa menjaga gizi berarti menjaga masa depan karena remaja yang sehat hari ini adalah generasi yang kuat dan berdaya di masa depan.

Editor: Rafa Nasifa Rahmah

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *