Filosofi Tari Lengger Versi Biyung Narsih: Cerminan Kehidupan dan Kearifan Banyumas

(Sumber: Dokumentasi sanggar ngudi luwesing salira)

Purwokerto– Tari Lengger Banyumasan kembali menjadi sorotan setelah nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya dikupas melalui sosok legendaris, Biyung Narsih, seorang penari Lengger asal Patikraja yang dikenal sebagai penjaga warisan budaya Banyumas. Dalam setiap gerak dan langkahnya, Biyung Narsih menanamkan pesan kehidupan yang mendalam tentang keseimbangan, kejujuran, dan rasa syukur terhadap kehidupan.

Tari Lengger Banyumasan bukan hanya sekadar pertunjukan seni rakyat, melainkan juga refleksi falsafah hidup masyarakat Banyumas. Gerakan ngoyog, misalnya, yang menjadi ciri khas Lengger, melambangkan keseimbangan antara kelembutan dan ketegasan. “Lengger iku urip sing kudu luwes nanging ora ilang tatane,” ujar Biyung Narsih. Baginya, setiap ayunan tangan dan langkah kaki dalam tarian adalah simbol dari bagaimana manusia harus menyesuaikan diri dengan kehidupan tanpa kehilangan prinsip.

Lebih dari sekadar hiburan, Biyung Narsih selalu menekankan bahwa menari Lengger adalah bentuk ibadah dan rasa syukur kepada Tuhan. Sebelum pentas, ia selalu melakukan ritual sungkeman dan doa sederhana. “Aku nari ora mung kanggo wong nonton, nanging kanggo nyuwun slamet lan matur nuwun marang Gusti,” tuturnya. Nilai spiritual ini menjadi ciri khas tari Lengger versi Biyung Narsih, sebuah perpaduan antara seni, batin, dan pengabdian.

Keunikan Lengger Banyumasan versi Biyung Narsih juga tampak pada cara ia berinteraksi dengan penonton. Saat menari, ia sering berbalas canda dan sapaan hangat, menciptakan suasana akrab dan hidup. Hal ini mencerminkan karakter masyarakat Banyumas yang cablaka (terbuka) dan egaliter. “Lengger kudu urip, kudu nyentuh ati wong sing nonton,” ujarnya, menegaskan bahwa seni sejati adalah seni yang dekat dengan rakyatnya.

Dalam perjalanan waktu, fungsi dan makna tari Lengger memang mengalami pergeseran. Jika dahulu tarian ini menjadi bagian dari upacara adat atau ritual sakral, kini Lengger lebih sering tampil dalam acara budaya dan festival. Meski demikian, filosofi yang diajarkan Biyung Narsih tetap relevan: bahwa seni harus menjadi jalan untuk menjaga keseimbangan hidup dan menumbuhkan rasa syukur. Ia pernah berkata, “Lengger iku pangeling, supaya wong Banyumas ora lali karo asale lan ora adoh karo Gusti.” (Lengger itu pengingat agar orang Banyumas tidak lupa pada asalnya dan tidak jauh dari Tuhan).

Kini, ajaran dan nilai-nilai yang diwariskan oleh Biyung Narsih terus hidup melalui generasi muda penari Lengger. Mereka tidak hanya menarikan gerakannya, tetapi juga mewarisi semangat dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Tari Lengger versi Biyung Narsih bukan sekadar warisan seni, melainkan juga piwulang urip — pelajaran tentang kehidupan, kejujuran, dan keikhlasan yang tumbuh dari tanah Banyumas yang bersahaja.

Melalui sosok Biyung Narsih, dunia kembali diingatkan bahwa seni tradisi bukanlah sekadar masa lalu, melainkan sumber nilai dan kebijaksanaan yang tak lekang oleh waktu. Dalam setiap gerakan Lengger, tersimpan pesan abadi: hidup harus dijalani dengan luwes, jujur, dan penuh rasa syukur.

Editor: Restu Anugrah Syafa’atullah

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *