Perkembangan teknologi digital membawa perubahan besar terhadap dunia pendidikan, termasuk dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Menurut Pipit Dwi Komariah, pengawas SMK di Cabang Dinas Pendidikan Wilayah X sekaligus penulis buku media ajar, guru Bahasa Indonesia masa kini harus adaptif terhadap perkembangan zaman serta mampu memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran yang menarik dan relevan.
Pipit telah mengabdikan diri di dunia pendidikan sejak tahun 2002. Ia menempuh pendidikan S1 di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), S2 di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), dan kini sedang menyelesaikan studi S3 di UNY. Selama menjadi guru, ia juga aktif di organisasi profesi guru, antara lain sebagai Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia Kabupaten Cilacap periode 2016–2025 dan kini menjadi Pembina MGMP Bahasa Indonesia. Selain berkiprah di dunia pendidikan, Pipit juga dikenal sebagai penulis buku pelajaran yang kini bergabung dengan Penerbit Erlangga. “Saya suka menulis. Buku-buku saya antara lain buku-buku pelajaran untuk SMK, buku pengayaan seperti buku persiapan SNBT, dan yang terbaru adalah buku TKA,” ujarnya.
Teknologi: Tantangan dan Peluang bagi Guru Bahasa Indonesia
Selama lebih dari dua dekade mengajar, Pipit merasakan betul perubahan besar dalam dunia pendidikan, terutama sejak kemajuan teknologi digital semakin pesat. Ia menilai, perkembangan ini membawa dampak positif sekaligus tantangan bagi guru dan siswa. “Kalau dibilang berbeda, pasti berbeda, karena zamannya sudah beda. Positifnya, kita semakin mudah mengajarkan pembelajaran berbahasa karena dibantu teknologi. Tapi minusnya, anak-anak sekarang fokusnya terpecah, salah satunya karena gawai,” jelasnya.
Menurut Pipit, guru tidak bisa menolak perubahan, justru harus menjadikannya sebagai peluang untuk berinovasi. Guru Bahasa Indonesia, katanya, dapat mengadaptasi berbagai platform digital yang akrab dengan siswa agar pembelajaran lebih menarik. “Sekarang eranya media sosial dan teknologi, maka pembelajaran Bahasa Indonesia pun harus menggunakan teknologi itu sebagai media pembelajaran,” ujarnya.
Sebagai contoh, ia melihat media seperti TikTok atau YouTube dapat digunakan untuk mengembangkan kreativitas siswa dalam berbahasa. “Ketika anak-anak lebih suka melihat TikTok, ya guru jangan memaksa mereka membaca buku yang saklek. Kita bisa mengedukasi mereka melalui platform itu. Intinya, teknologi bukan halangan, tetapi peluang untuk berinovasi,” tegasnya.
Literasi dan Inovasi Pembelajaran Bahasa
Sejalan dengan perkembangan teknologi, Pipit menilai pentingnya guru mengarahkan kegiatan literasi agar selaras dengan dunia digital yang dekat dengan siswa. Ia menyebut banyak media daring yang dapat digunakan untuk menumbuhkan minat baca dan tulis siswa. “Sekarang banyak banget platform daring yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan literasi, seperti Wattpad. Anak-anak bisa menuangkan gagasan imajinasi dan karya-karyanya di sana. Kalau dulu pembelajaran cukup pakai salindia, tapi sekarang bisa pakai e-book atau media interaktif lain,” ujarnya.
Lebih lanjut, Pipit menyoroti bahwa salah satu kendala utama pembelajaran Bahasa Indonesia adalah sikap sebagian guru yang masih bertahan dengan cara lama. Menurutnya, hal itu dapat membuat siswa kehilangan minat belajar. Ia menegaskan, “Hal yang disayangkan itu ketika guru berada di zona nyaman. Zaman berubah, tapi dia nggak mau berubah. Akhirnya anak kehilangan minat untuk belajar bahasa.”
Karena itu, ia mendorong guru untuk terus berinovasi dengan metode pembelajaran yang kreatif dan adaptif terhadap kebutuhan siswa. Guru, kata Pipit, tidak hanya mengajar, tetapi juga perlu menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Keteladanan Guru dan Pembentukan Karakter
Pipit menegaskan bahwa keberhasilan pembelajaran Bahasa Indonesia tidak lepas dari keteladanan guru. Guru yang gemar membaca dan menulis akan secara alami menularkan semangat itu kepada siswa. “Guru Bahasa Indonesia itu harus jadi contoh dulu. Gimana mungkin guru menyuruh muridnya membaca kalau dia sendiri tidak suka membaca?” ungkapnya.
Selain membaca, guru juga perlu menulis dan menunjukkan karyanya kepada siswa, baik dalam bentuk puisi, cerpen, maupun tulisan di media sosial yang mengandung pesan positif. Menurut Pipit, langkah kecil seperti itu dapat menumbuhkan rasa kagum sekaligus motivasi bagi siswa untuk berkarya.
Ia juga membagikan pengalamannya ketika mengajar di SMK Negeri 1 Cilacap. “Setiap tahun saya menerbitkan buku antologi karya siswa yang berisi puisi, cerpen, karya mereka. Ketika karyanya dibukukan, mereka merasa bangga. Dari situ muncul motivasi untuk terus berkarya,” kenangnya.
Bahasa Indonesia dan Tantangan Global
Pipit menyadari bahwa tantangan guru Bahasa Indonesia di masa depan semakin kompleks. Salah satunya adalah maraknya penggunaan bahasa asing dan campur kode di kalangan remaja. “Sekarang anak-anak lebih suka pakai istilah asing daripada menggunakan padanan istilah dalam bahasa Indonesia,” katanya. Namun, ia menegaskan bahwa hal tersebut seharusnya menjadi motivasi bagi guru untuk terus menumbuhkan kebanggaan berbahasa Indonesia.
Menurut Pipit, pembelajaran Bahasa Indonesia sejatinya tidak hanya berfokus pada aspek linguistik, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai moral dan sosial. “Pelajaran Bahasa itu bukan sekadar tentang bahasa, tapi juga pendidikan budi pekerti. Di situ ada unggah-ungguh, empati, dan kesantunan,” jelasnya.
Ia menambahkan, melalui karya sastra, siswa belajar memahami konflik, karakter, dan nilai kemanusiaan yang membentuk kepekaan rasa. Dengan demikian, Bahasa Indonesia memiliki peran penting dalam pembentukan karakter peserta didik.
Pesan untuk Guru Bahasa Indonesia
Sebagai penutup, Pipit memberikan pesan yang menggugah kepada para guru Bahasa Indonesia agar tetap bersemangat dan bangga terhadap profesinya. “Kita harus bangga menjadi guru Bahasa Indonesia. Jangan minder hanya karena dianggap mata pelajaran yang mudah. Bahasa Indonesia dibutuhkan di semua bidang,” ujarnya tegas.
Selain itu, guru juga perlu terus belajar mengikuti perkembangan zaman. “Bahasa itu berkembang terus. Badan Bahasa memperbarui kamus setiap enam bulan sekali, jadi guru juga harus memperbarui ilmunya,” jelasnya.
Ia juga menyinggung pentingnya bersikap adaptif terhadap kecanggihan teknologi, termasuk kecerdasan buatan. “Guru boleh memanfaatkan teknologi seperti ChatGPT atau Gemini, asalkan bijak. Yang penting, kita yang memegang kendali, bukan dikendalikan,” tutupnya.