Olahraga Padel (Sumber: https://pin.it/1BHBGuS9S)
Olahraga padel, menjadi perbincangan hangat di Indonesia sejak dua tahun terakhir. Kombinasi antara tenis dan squash ini tidak hanya digemari kalangan muda urban, tetapi juga mulai diminati oleh anak muda di kota-kota kecil seperti Purwokerto. Berdasarkan informasi di instagram @infopurwokerto dan @purwokertopadel menyatakan bahwa Purwokerto Padel Club di Jalan Dr. Soeparno No. 57, Arcawinangun, menjadi lapangan padel pertama di Purwokerto. Fenomena ini menandakan olahraga padel bukan lagi sekadar tren ibu kota, melainkan telah menjadi simbol gaya hidup baru masyarakat kelas menengah.
Namun, popularitas yang meningkat ini membawa pertanyaan penting.
Apakah padel sekadar menjadi ajang gaya hidup dan jejaring sosial, atau mampu tumbuh sebagai olahraga yang benar-benar inklusif dan menyehatkan masyarakat? Untuk menjawabnya, padel perlu ditinjau bukan hanya dari sisi hiburan, tetapi juga dari aspek sosial, ekonomi, dan ketersediaan fasilitas publik.
Pertama, padel tumbuh sebagai simbol gaya hidup modern. Data dari tim riset BeritaSatu menunjukkan bahwa 30% masyarakat bermain padel karena alasan sosial dan komunitas, sedangkan 10% menganggap sebagai gaya hidup dan sarana membangun jaringan sosial. Fenomena ini memperlihatkan bahwa padel menjadi ruang interaksi sosial baru bagi masyarakat kelas menengah. Mirip dengan tren golf atau tenis beberapa dekade yang lalu. Akan tetapi, citra eksklusif tersebut yang membuat olahraga ini menjadi lebih dekat dengan status sosial daripada manfaat kesehatan.

Kedua, harga bermain padel masih tergolong mahal. Menurut survei yang sama, estimasi pengeluaran bagi pemain padel tidak sedikit. Seorang pemain perlu menyiapkan dana antara 7 juta rupiah hingga 10 juta rupiah untuk membeli raket dan sepatu. Biaya sewa lapangan juga berkisar antara 250 ribu rupiah sampai dengan 500 ribu rupiah setiap kali bermain. Jika seseorang bermain dua sampai empat kali dalam satu bulan, maka total biayanya bisa mencapai 2.500.000 rupiah setiap bulan. Angka ini tentu tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, padel masih sulit disebut sebagai olahraga yang merakyat karena lebih mendekati kategori olahraga gaya hidup.
Ketiga, penyebaran lapangan padel masih terpusat di daerah wisata dan perkotaan. Berdasarkan data dari Federación Internacional de Pádel atau FIP, jumlah lapangan padel di Indonesia pada tahun 2024 mencapai seratus tiga puluh empat unit. Bali memiliki sembilan puluh dua lapangan, Jakarta memiliki dua puluh delapan, sedangkan daerah lain seperti Nusa Tenggara Barat memiliki delapan, Sumatera memiliki tiga, dan Jawa Timur, Banten, serta Nusa Tenggara Timur masing-masing hanya memiliki satu lapangan. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa meskipun padel berkembang pesat, pertumbuhannya belum merata. Apabila hal ini tidak segera diantisipasi, maka olahraga ini berisiko menjadi simbol kesenjangan akses antara kota besar dan daerah.
Padel memang menghadirkan energi baru dalam dunia olahraga Indonesia. Olahraga ini menggabungkan kesenangan, jejaring sosial, dan gaya hidup aktif yang menarik banyak kalangan muda. Namun, agar padel tidak sekadar menjadi olahraga dikalangan elit perkotaan, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan komunitas perlu bekerja sama untuk memperluas akses terhadap fasilitasnya. Jika padel ingin benar-benar menjadi bagian dari budaya olahraga nasional, maka nilai inklusivitas harus menjadi prioritas utama, bukan hanya sekadar tren gaya hidup sesaat.
Editor: Khansa Faiza Rahmah
