Literasi Digital di Era Live-Streaming: Transformasi Bahasa dan Budaya Komunikasi Generasi Muda

IShowSpeed saat IRL di Indonesia dan Windah yang melakukan “absen” saat live (Sumber: Tangkapan Layar YouTube @IShowSpeed dan @WindahBasudara)

Live-streaming mengalami peningkatan pesat sejak pandemi COVID-19 pada tahun 2020. Saat masyarakat banyak beraktivitas di rumah, hiburan seperti live-streaming di YouTube atau platform streaming lainnya menjadi pilihan utama untuk mengisi waktu dan berinteraksi secara digital. Sejak itu, streamer tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga menjadi panutan gaya komunikasi bagi banyak remaja.

Salah satu bentuk komunikasi digital yang semakin populer adalah penggunaan huruf “W” dan “L”. Menurut Urban Dictionary, “W” berarti win atau menang, digunakan untuk menandai keberhasilan atau sesuatu yang menyenangkan. Sebaliknya, “L” berarti lose atau kalah, digunakan saat sesuatu dianggap buruk atau gagal. Istilah ini banyak muncul di kolom chat streaming karena mudah dipahami dan menciptakan rasa kebersamaan sesama penonton.

Fenomena adopsi bahasa streamer juga terlihat dari siaran langsung in real life yang dilakukan IShowSpeed ketika berkunjung ke Indonesia. Ia kerap berusaha berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, seperti mengucapkan “santai!” untuk menenangkan kerumunan. Namun, pada salah satu siaran di Yogyakarta, ia sempat mengucapkan kalimat “Awas, minggir lu miskin!”, kalimat itu ia ucapkan karena mengikuti saran dari penonton di kolom chat, tanpa memahami arti dan konteks sebenarnya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa bahasa digital yang tersebar cepat dapat mengarah pada penyalahgunaan bahasa jika tidak dibarengi pemahaman yang tepat. Meski demikian, antusiasme Speed memakai bahasa Indonesia juga membuat banyak penonton luar negeri penasaran dan tertarik mempelajari bahasa Indonesia, sehingga fenomena ini memiliki dampak ganda, baik positif maupun negatif.

Di Indonesia, Windah Basudara menjadi salah satu streamer yang sangat berpengaruh. Berdasarkan penelitian tentang gaya komunikasinya, Windah sering memakai sapaan seperti “absen dulu…” sambil menyebut nama penonton untuk membangun kedekatan dan interaksi langsung dengan komunitasnya. Pendekatan ini dinilai menciptakan rasa nyaman dan kedekatan emosional bagi para penonton sehingga mereka merasa dilibatkan dalam acara live-streaming tersebut. Bahasa candaan seperti sapaan “adik-adik” juga menjadi bagian dari identitas komunitasnya, sehingga interaksi terasa lebih santai dan menghibur. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa spontanitas, humor, dan gaya bahasa yang khas merupakan faktor penting dalam kesuksesan Windah menarik perhatian penonton.

Fenomena ini tentu memberi pengaruh positif bagi literasi digital remaja, seperti melatih kemampuan membaca konteks, berbahasa kreatif, serta berkomunikasi dengan responsif. Namun, penggunaan bahasa di dunia digital juga perlu diarahkan dengan baik agar remaja mampu membedakan komunikasi santai di internet dan penggunaan bahasa resmi dalam situasi formal.

Dengan pendampingan yang tepat dari orang tua dan pendidik, live-streaming dapat menjadi media belajar yang menyenangkan. Dunia digital tidak hanya menghibur, tetapi juga membentuk kemampuan berbahasa dan berkomunikasi generasi muda di era modern.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *