Lebaran Ketupat: Tradisi Penuh Makna Warisan Budaya Islam Jawa

Jejak Persepsi Sepekan setelah umat Islam merayakan Idulfitri, masyarakat di berbagai daerah di Indonesia kembali merayakan tradisi khas yang dikenal sebagai Lebaran Ketupat. Perayaan ini digelar setiap tanggal 8 Syawal atau tujuh hari setelah hari raya Idulfitri dan menjadi momen istimewa yang menyatukan nilai-nilai religius, budaya, serta semangat kebersamaan.

Dalam catatan situs Universitas STEKOM Pusat, Lebaran Ketupat atau Riyoyo Kupat merupakan tradisi masyarakat Jawa yang telah diwariskan turun-temurun sejak masa Wali Songo. Mengutip laman NU Online, tradisi ini pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga yang memperkenalkan dua istilah: Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran merujuk pada kegiatan silaturahmi dan saling memaafkan usai salat Idulfitri, sedangkan Bakda Kupat merupakan perayaan yang dilakukan seminggu kemudian, sebagai pelengkap puasa Syawal selama enam hari.

Tradisi ini bukan hanya menjadi ajang makan bersama, tetapi juga sarat makna simbolik. Ketupat, makanan utama dalam perayaan ini, memiliki filosofi mendalam. Dalam buku Fenomena Sosial Keagamaan Masyarakat Jawa dalam Kajian Sosiologi (2021) karya Lilik Setiawan dkk., disebutkan bahwa ketupat melambangkan permintaan maaf dan keberkahan. Nasi sebagai isinya melambangkan nafsu, sedangkan pembungkusnya berupa janur atau daun kelapa muda diartikan sebagai “jati ning nur” yang berarti hati nurani.

Bentuk segi empat ketupat mencerminkan prinsip “kiblat papat lima pancer”, bahwa ke mana pun arah hidup manusia, tetap akan kembali kepada Allah. Anyaman rumit dari janur mencerminkan kerumitan kesalahan manusia, sedangkan warna putih ketupat saat dibelah mencerminkan kesucian setelah meminta ampun.

Dalam budaya Jawa, ketupat memiliki dua makna penting: ngaku lepat yang berarti mengakui kesalahan dan laku papat atau empat tindakan simbolik pasca-Ramadan, yaitu:

  1. Lebaran, menandai berakhirnya puasa Ramadan;
  2. Luberan, melambangkan limpahan rezeki dan ajakan bersedekah;
  3. Leburan, menggambarkan meleburkan dosa dengan saling memaafkan;
  4. Laburan, berasal dari kata “kapur” yang melambangkan kesucian lahir dan batin.

Tradisi Lebaran Ketupat masih lestari di berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, yang menyebutnya dengan istilah Bada Kupat. Di Desa Watuagung, Kecamatan Tambak misalnya, warga berkumpul di halaman masjid untuk membawa ketupat yang telah disiapkan dari rumah. Ketupat tersebut kemudian dikumpulkan, dibagikan merata, dan disantap bersama dengan lauk-pauk khas seperti serundeng, peyek, mendoan, dan sayur kering.

Tradisi Bada Kupat ini tak hanya menjadi ajang berbagi, tetapi juga mempererat tali silaturahmi antarsesama warga. Dengan segala simbolisme dan semangat kebersamaan yang diusungnya, Lebaran Ketupat bukan sekadar perayaan kuliner semata, melainkan wujud nyata kearifan lokal masyarakat Jawa dalam mengekspresikan ajaran Islam melalui budaya yang kaya makna dan sarat nilai sosial.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *