Upacara selapanan adalah tradisi khas Jawa yang sarat makna dan nilai filosofis. Tradisi ini dilakukan ketika seorang bayi genap berusia 35 hari. Perhitungan waktu ini berasal dari kalender Jawa, yang menggabungkan pekan tujuh hari dengan pasaran lima hari. Hasil perkaliannya adalah siklus 35 hari, atau selapan, yang menjadi waktu khusus untuk melangsungkan tradisi slametan.
Upacara ini bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan keselamatan yang diberikan kepada bayi serta ibunya. Rangkaian prosesi melibatkan pemotongan rambut dan kuku bayi. Kedua hal ini kemudian disimpan dan dikubur bersama tali pusar. Bagi masyarakat Jawa, tindakan ini melambangkan harapan akan kehidupan yang bersih, panjang umur, dan penuh berkah.
Tradisi Bancakan sebagai Pelengkap
Santapan khas berupa nasi bancakan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari upacara selapanan. Bancakan adalah hidangan yang disiapkan dengan memperhatikan detail dan makna mendalam. Tumpeng weton menjadi pusat dari hidangan ini, ditemani oleh tujuh jenis sayuran seperti kacang panjang dan kangkung. Setiap jenis sayur memiliki simbolisme tertentu. Sebagai contoh, kacang panjang melambangkan harapan panjang umur, sedangkan bayam melambangkan ketenteraman.
Selain sayuran, bancakan juga menyajikan telur rebus, tujuh jenis buah, cabai, bawang merah, dan tujuh jenis bubur. Semua elemen ini diatur dengan makna filosofis yang kuat. Sebagai contoh, angka tujuh (pitu) dipercaya membawa harapan pertolongan (pitulungan), sedangkan angka sebelas (sewelas) melambangkan harapan belas kasih (kawelasan).
Nilai Sosial dan Filosofis
Tidak hanya disantap, nasi bancakan juga dibagikan kepada masyarakat sekitar. Hal ini mencerminkan nilai kebersamaan dan kepedulian. Hidangan disusun dalam bentuk kenduri, yang berisi berbagai jenis makanan, termasuk kembang setaman. Kombinasi ini memperlihatkan hubungan erat antara manusia, alam, dan nilai spiritual yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa.
Upacara selapanan dan tradisi bancakan adalah warisan budaya yang harus dijaga agar tidak terkikis oleh modernisasi. Nilai-nilai luhur di dalamnya mengajarkan pentingnya rasa syukur, kebersamaan, dan hubungan harmonis dengan alam. Meski kini hanya sebagian kecil masyarakat yang masih menjalankannya, tradisi ini tetap menjadi simbol keagungan budaya Jawa yang penuh makna dan estetika.