
Adegan para tokoh di tikungan jalan dalam drama “Orang-Orang di Tikungan Jalan”
(Sumber: dokumentasi pribadi)
Purwokerto — Aula Bambang Lelono FIB Unsoed pada Jumat malam, 12 Desember 2025, dipenuhi penonton yang datang untuk menyaksikan pagelaran Jagat Rasa. Salah satu pementasan yang paling menarik perhatian adalah “Orang-Orang di Tikungan Jalan”, adaptasi dari karya WS Rendra yang dikenal sarat kritik sosial. Dengan panggung sederhana berupa warung kecil bertuliskan “Wedang Kacang”, poster sedot WC, lampu jalan, serta dinding yang penuh selebaran, penonton langsung diajak masuk ke gambaran kehidupan masyarakat kecil.
Pementasan dibuka dengan hadirnya seorang anak yang sering menangis dan berteriak di pinggir jalan. Banyak orang menganggapnya gila, padahal ia sedang menanggung luka batin yang tidak pernah benar-benar ia pahami. Ayahnya adalah seorang pemabuk, dan anak itu terlalu malu untuk mengakui kenyataan tersebut. Adegan ini membuat suasana menjadi emosional, karena penonton diingatkan bahwa tidak semua perilaku aneh lahir dari kegilaan, tetapi dari luka yang tidak terlihat.

Adegan anak yang terluka batin (Sumber: dokumentasi pribadi)
Cerita kemudian berfokus pada dua pasangan yang masing-masing membawa konflik berbeda. Pada pasangan pertama, sang laki-laki memegang standar moral yang timpang. Ia menginginkan perempuan yang “suci” dan menilai kekasihnya tidak lagi sesuai harapan hanya karena ada kedekatan dengan laki-laki lain. Stigma itu membuat sang laki-laki memilih menjauh, karena ia merasa pasangannya sudah tidak memenuhi standar yang ia bayangkan. Perempuan itu kemudian merasa tidak layak hingga akhirnya menarik diri, memperlihatkan bagaimana standar moral yang tidak adil dapat melukai seseorang.
Pasangan kedua awalnya terlihat baik-baik saja. Namun pergerakan cerita menjadi lebih pelik ketika perempuan dari pasangan ini sempat tertarik pada laki-laki dari pasangan pertama. Ketertarikan itu mereda ketika ia menyadari bahwa laki-laki tersebut hanya menginginkan perempuan yang “suci”. Ia memilih menjauh dan berkata bahwa dirinya bahkan tidak memiliki “1 persen kesucian” seperti yang diinginkan laki-laki itu. Meski begitu, laki-laki dari pasangan pertama tetap menunggu perempuan kedua tersebut. Penantian itu menjadi semakin rumit ketika perempuan dari masa lalunya tiba-tiba muncul dan mengganggu perasaannya.

Konflik dua pasangan yang saling bersinggungan di panggung Jagat Rasa
(Sumber: dokumentasi pribadi)
Seluruh kisah berlangsung di sebuah tikungan jalan. Tempat ini bukan sekadar lokasi, tetapi simbol dari berbagai pertemuan masalah sosial seperti stigma moral, kemiskinan, luka keluarga, patah hati, dan pilihan hidup yang tidak mudah. Meski properti panggung sederhana, permainan ekspresi dan dialog para pemain membuat suasana tikungan itu terasa hidup seolah berada di tengah-tengah penonton.
Pementasan ini tidak menawarkan penyelesaian yang mutlak. Tidak ada akhir bahagia yang rapi atau perubahan besar yang drastis. Justru di situlah kekuatan cerita ini, karena penonton diajak melihat bahwa sebagian besar persoalan kehidupan masyarakat kecil terus berlangsung tanpa kepastian. Yang ada hanyalah waktu, penantian, dan keberanian untuk tetap bertahan.
Lewat adaptasi ini, Jagat Rasa berhasil menghadirkan kembali semangat kritik sosial WS Rendra dengan cara yang dekat, hangat, dan mudah dipahami. “Orang-Orang di Tikungan Jalan” bukan hanya sebuah tontonan, tetapi juga pengingat bahwa banyak kisah di sekitar kita yang tampak sepele, namun sesungguhnya menyimpan luka mendalam.
Editor:
