Purwokerto – Saat berbicara tentang kuliner Indonesia, kue putu menjadi salah satu sajian yang tak boleh dilewatkan. Dengan perpaduan isian gula merah yang meleleh, aroma pandan yang khas, dan taburan kelapa parut yang gurih, kue putu berhasil memikat hati setiap orang yang mencobanya.
Proses pembuatan yang sederhana menggunakan tepung beras dan air, kue putu menawarkan keunikan tersendiri yang sulit ditemukan pada jajanan modern. Bentuk silindris dan proses memasak dalam cetakan bambu memberikan identitas khas yang membuatnya menjadi simbol kuliner lokal yang terus dipertahankan.
“Membuat kue putu bukan hanya tentang menciptakan makanan yang lezat, tapi juga tentang bagaimana saya memberikan sedikit kebahagiaan kepada orang lain melalui setiap gigitan dengan cinta dan hati yang tulus.” Ujar Warto, seorang penjual kue putu.
Daya tarik kue putu semakin terasa dengan suara nyaring dari cerobong kecil yang menjadi ciri khas saat penjualannya. Jajanan tradisional ini sering menjadi pilihan dalam acara keluarga, perayaan, atau sekadar menemani secangkir kopi.
Dengan harga mulai dari seribu rupiah, kue putu disukai banyak orang, khususnya saat dijajakan di sore hari dengan gerobak atau pikulan yang menambah kesan hangat dan ramah. Di balik harganya yang murah, kue putu memiliki nilai budaya yang tinggi karena menghadirkan nuansa nostalgia masa kecil dan menjadi simbol jajanan tradisional yang tetap bertahan di tengah perkembangan jajanan modern.
Meskipun ada perubahan dalam proses pembuatan, seperti penggunaan cetakan logam, banyak konsumen tetap berpendapat bahwa cita rasa kue putu paling autentik hanya bisa diperoleh dari cetakan bambu tradisional. Seperti yang dikatakan Sinta, seorang penikmat kue putu, “Saya menyukai kue putu Warto karena dibuat dengan cetakan bambu tradisional. Saya bisa merasakan perbedaan rasa, aroma khas dan tekstur yang lebih lembut.”
Kehadiran kue putu menjadi bagian tak terpisahkan dari momen-momen berharga dalam kehidupan sehari-hari. Setiap gigitannya menghadirkan sensasi manis yang membuat banyak orang rindu untuk menikmatinya lagi.
Editor: Sofia Almas Meylani