Kata “Pribumi” dalam Film Bumi Manusia: Cermin Perubahan Bahasa dan Kesadaran Bangsa

Purwokerto – Film Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer kembali menjadi bahan perbincangan di ruang digital setelah penonton menyoroti kemunculan kata “pribumi” dalam dialognya. Perdebatan daring itu menyoroti perubahan makna dan sensitivitas sosial yang menyertai istilah tersebut dalam konteks Indonesia modern.

Film yang diadaptasi dari novel legendaris itu menampilkan ragam bahasa Indonesia yang sarat nilai sejarah. Menggunakan gaya Melayu Tinggi khas masa kolonial, karya ini memperlihatkan lapisan sosial dan politik masyarakat Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Namun, istilah “pribumi” yang dahulu lazim digunakan kini tidak lagi diakui secara resmi, karena  bertentangan dengan hukum dan dianggap menimbulkan sentimen diskriminasi dan perpecahan. Penggunaan istilah ini telah dihentikan berdasarkan Inpres No. 26 Tahun 1998 dan UU No. 40 Tahun 2008, serta diganti dengan istilah “Warga Negara Indonesia” (WNI). Perbincangan publik di berbagai platform digital menunjukkan tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya berbahasa dengan peka terhadap nilai-nilai kebangsaan. Banyak warganet menilai bahwa perdebatan seputar kata ini bukan sekadar tentang istilah, tetapi juga tentang bagaimana bangsa memandang dirinya sendiri di tengah perubahan zaman.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa turut mengingatkan pentingnya memahami evolusi makna bahasa. “Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, tetapi cerminan nilai, sejarah, dan pandangan hidup bangsa,” tulis lembaga itu dalam pernyataan resminya.

Melalui Bumi Manusia, Pramoedya menegaskan kekuatan bahasa Indonesia sebagai medium pemikiran dan perlawanan budaya. Kini, makna itu menemukan bentuk baru: refleksi kritis di ruang digital, ketika masyarakat belajar menafsirkan kembali kata, sejarah, dan identitasnya.

Kisah dan bahasanya membuktikan bahwa Bumi Manusia tetap hidup, bukan hanya sebagai karya sastra, tetapi juga sebagai cermin perjalanan bangsa dalam memahami arti kemerdekaan, kemanusiaan, dan bahasa yang terus berkembang.

Editor : Meta Khairul Fatami

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *