
Pemanfaatan ChatGPT dalam Dunia Akademik (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Purbalingga – Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) semakin terasa dalam dunia pendidikan, terutama sejak hadirnya ChatGPT yang kini menjadi alat bantu paling populer di kalangan mahasiswa. Kemampuannya memberikan jawaban cepat, merangkum materi, hingga menawarkan ide penulisan membuat ChatGPT sering dianggap sebagai “teman belajar baru” yang memudahkan proses akademik. Namun, di tengah manfaat tersebut, muncul pula kekhawatiran bahwa penggunaan ChatGPT justru dapat mendorong mahasiswa memilih jalan pintas dalam menyelesaikan tugas.
Fenomena ini tidak hanya menawarkan kemudahan, tetapi juga menghadirkan dilema antara peningkatan efektivitas belajar dan potensi munculnya budaya instan. Hal tersebut diungkapkan oleh Rizqi Khoirunnisaa Afriana, atau yang kerap disapa Ana, seorang mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Jenderal Soedirman.
Menurut Ana, alasan utama mahasiswa menggunakan ChatGPT adalah karena sifatnya yang cepat dan praktis. “ChatGPT dapat membantu memberikan penjelasan secara cepat, menyusun ringkasan, serta menawarkan gambaran awal ketika mahasiswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas,” ujarnya.
Tidak dapat dipungkiri, keberadaan ChatGPT membawa manfaat sekaligus risiko dalam proses belajar. Di satu sisi, AI memudahkan mahasiswa memahami materi kuliah secara lebih efisien. Namun, di sisi lain, Ana menilai bahwa penggunaan yang berlebihan dapat menurunkan kemampuan berpikir kritis. “Risikonya, jika digunakan terlalu sering, mahasiswa dapat menjadi kurang mandiri dalam berpikir dan cenderung menyalin jawaban tanpa memahami isi materi,” tambahnya.
Penggunaan ChatGPT paling banyak ditemukan pada kalangan mahasiswa Gen Z, terutama mereka yang menghadapi banyak tugas atau dikejar tenggat waktu. Tren ini mulai meningkat sejak perkuliahan berbasis digital semakin meluas, serta sejak mahasiswa menyadari bahwa AI dapat membantu menghasilkan ide, ringkasan materi, hingga konsep awal penulisan.
Beberapa pihak menilai AI ini berpotensi menjadi jalan pintas bagi mahasiswa yang ingin menyelesaikan tugas dengan cepat tanpa berproses. Ana membenarkan pandangan tersebut. “Sebagian mahasiswa menggunakan ChatGPT hanya untuk menyalin jawaban, sehingga tampak sebagai jalan pintas tanpa melalui proses belajar yang seharusnya. Padahal, ChatGPT lebih tepat dimanfaatkan sebagai referensi, bukan sebagai sumber jawaban yang langsung diambil tanpa verifikasi,” tegasnya.
Untuk meminimalisasi ketergantungan, sebagian mahasiswa telah mengembangkan cara penggunaan yang lebih bijak. Mereka memanfaatkan ChatGPT sebagai alat bantu awal, kemudian memverifikasi informasi menggunakan buku, jurnal, atau sumber terpercaya lainnya.
Dalam praktiknya, perbedaan antara mahasiswa yang menggunakan ChatGPT untuk belajar dan mereka yang memanfaatkannya sebagai jalan pintas tampak cukup jelas. Mahasiswa yang menggunakan AI sebagai alat bantu belajar biasanya bertanya terlebih dahulu, mencari penjelasan, lalu menyusun tugas dengan pemikiran sendiri. Sebaliknya, mahasiswa yang menggunakannya secara instan cenderung menyalin jawaban mentah dari ChatGPT, sehingga hasil tulisannya terlihat seragam dan tidak mencerminkan gaya bahasa pribadi.
Perkembangan teknologi AI seperti ChatGPT memang membuka peluang besar dalam membantu proses akademik. Namun, sebagaimana disampaikan Ana bahwa kunci utamanya tetap berada pada sikap mahasiswa dalam mengelola penggunaan teknologi, apakah sebagai sahabat belajar atau justru jalan pintas yang menghambat perkembangan kemampuan berpikir.
Pada akhirnya, kehadiran ChatGPT dalam dunia akademik tidak dapat dihindari dan justru menawarkan banyak peluang jika digunakan secara tepat. Namun, pemanfaatannya tetap membutuhkan sikap kritis dan tanggung jawab dari mahasiswa agar teknologi ini benar-benar menjadi sarana pendukung proses belajar, bukan sekadar jalan pintas. Dengan penggunaan yang bijak, ChatGPT dapat menjadi mitra belajar yang membantu mahasiswa berkembang tanpa menghilangkan kemampuan berpikir mandiri.
Editor: Zaskia Ayu Nissa
