Companion (2025): Ketika Teknologi Menguji Ulang Makna Cinta dan Kendali

Di tengah semakin kuatnya dominasi teknologi dalam kehidupan sehari-hari, Companion (2025) hadir sebagai film yang bukan hanya memancing ketegangan, tetapi juga membuka ruang refleksi tentang relasi modern. Dirilis 31 Januari 2025 oleh Warner Bros. Pictures, film garapan Drew Hancock ini berhasil meraih pendapatan global USD 36,7 juta dari anggaran USD 10 juta—sebuah pencapaian yang menunjukkan besarnya perhatian publik terhadap tema yang diangkat.

‎Cerita berpusat pada Iris dan Josh, pasangan yang menghabiskan akhir pekan di sebuah kabin terpencil bersama sekelompok teman. Namun, suasana yang semula terlihat seperti liburan biasa berubah ketika terungkap bahwa Iris bukan manusia, melainkan robot pendamping yang dapat dikendalikan melalui aplikasi. Dari titik ini, film menggiring penonton masuk ke konflik yang lebih dalam: bagaimana sebuah “hubungan” bisa tetap disebut hubungan ketika salah satu pihak diprogram untuk menurut?

‎Melalui dinamika Iris dan Josh, Companion menyorot isu penting seputar kontrol, objektifikasi, dan manipulasi dalam relasi. Beberapa ulasan kritikus menilai film ini berhasil merangkai ketegangan psikologis dengan kritik sosial yang relevan, meskipun karakter pendukungnya tidak digarap sedalam potensi yang ada. Meski begitu, Companion tetap mendapat apresiasi tinggi, terbukti dari rating kritik yang mencapai 93%, menegaskan kualitas eksekusi tema dan bangunan konflik yang kuat.

‎Menuju akhir cerita, film ini semakin menegaskan posisinya sebagai cermin bagi relasi manusia di era digital. Ketika teknologi memungkinkan seseorang menciptakan pasangan yang “ideal”, batas antara cinta dan kepemilikan menjadi kabur. Situasi ini membuat Companion relevan bagi penonton generasi muda, terutama mahasiswa yang akrab dengan hubungan digital, tekanan sosial, dan konstruksi identitas di ruang daring.

‎Secara keseluruhan, Companion bukan hanya thriller sci-fi yang mendebarkan. Film ini mengajak penonton mempertimbangkan ulang konsep kebebasan dalam hubungan, mempertanyakan batas etis teknologi, dan menimbang kembali makna kemanusiaan di tengah dunia yang semakin terotomatisasi. Seperti Iris yang mencari jati diri di luar kendali pemiliknya, penonton pun diajak untuk bertanya: apa yang tersisa dari cinta jika perasaan dapat diprogram?

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *