Beberapa waktu terakhir, istilah healing semakin populer di kalangan generasi muda. Healing yang awalnya merujuk pada proses penyembuhan emosi kini berubah menjadi istilah populer yang sering dikaitkan dengan aktivitas bepergian, nongkrong di kafe, hingga staycation. Media sosial turut memperkuat tren ini melalui unggahan foto yang menampilkan aktivitas healing sebagai gaya hidup yang wajib dilakukan untuk mengurangi stres.
Sebagian remaja mengaku membutuhkan waktu istirahat dari tuntutan akademik maupun pekerjaan. Mereka menggunakan waktu luang untuk mencari suasana baru demi melepaskan tekanan dari tugas dan rutinitas harian. Rutinitas padat dan tingginya tekanan sosial membuat mereka mencari jeda untuk menenangkan pikiran. Dalam konteks ini, healing bisa menjadi bentuk self-care yang positif.
Namun, tak sedikit yang menilai bahwa healing kini lebih banyak dimaknai sebagai tren visual dari pada kebutuhan emosional. Beberapa anak muda bahkan merasa harus mengikuti gaya tersebut agar tidak ketinggalan. Bahkan, beberapa orang tertekan secara finansial demi mengikuti tren pergi ke tempat-tempat “estetik”. Akibatnya, healing justru menambah beban baru, bukan mengurangi.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana budaya digital memengaruhi cara generasi muda memahami kesehatan mental. Healing bukan sekadar bepergian, tetapi cara bagi seseorang untuk mengelola stres secara sehat dan sesuai kemampuan. Di tengah maraknya tren healing, para ahli mengingatkan bahwa pemulihan diri tidak harus dilakukan dengan cara yang mahal, melainkan bisa dimulai dari kebiasaan sederhana seperti istirahat cukup dan mengelola waktu dengan baik.
Editor: Arlinta Ayu Putri Yunexsa
