Langkah itu jatuh mantap di atas panggung yang sederhana. Dadanya membusung, dagunya terangkat, dan tatapannya menyapu ruang seolah tak memberi celah untuk ragu. Dari gerak tubuhnya, tampak sosok laki-laki beraksen Jawa yang petantang-petenteng. Padahal, tubuh itu milik seorang mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia semester lima bernama Ahda yang sedang memerankan tokoh Timi.

Aksen Jawa yang kental mengalir dari setiap dialog. Kata-kata dilontarkan dengan tekanan yang tegas, membentuk karakter tanpa banyak penjelasan. Bunyi dan jeda bicara menjadi alat untuk menghadirkan watak: percaya diri, keras, dan berani. Penonton menangkap makna bukan hanya dari apa yang diucapkan, tetapi dari bagaimana bahasa itu disuarakan.
Tubuh Timi berbicara lebih jauh. Tangan yang bertumpu di pinggang, bahu yang terbuka, dan langkah yang sedikit melebar menghadirkan kesan maskulin yang konsisten. Bahkan ketika ia diam, kehadirannya tetap terasa. Panggung yang sempit seolah mengikuti irama geraknya, memberi ruang pada sosok yang ia bangun.
Dalam pementasan “Matahari di Sebuah Jalan Kecil“, sorot mata penonton kerap tertuju pada Timi. Ia menjadi titik fokus utama penonton karena aksen yang melekat pada dirinya. Pada diri Timi, keberanian tampil bukan sekadar tentang menghafal dialog, melainkan tentang menjelma tokoh dengan kesadaran penuh.

Sebagai seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia, pementasan ini menjadi ruang belajar yang hidup. Bahasa tidak berhenti pada teks, tetapi bergerak melalui suara dan gestur. Pada Timi, bahasa menemukan tubuhnya, dan tubuh itu menghidupkan makna.
Ketika lampu mulai menyala satu persatu dan panggung kembali sunyi, sosok petantang-petenteng itu menghilang. Namun, aksen Jawa yang tegas dan langkah yang mantap masih tertinggal di ingatan penonton. Di panggung sederhana itu, Timi telah membuktikan bahwa bahasa tak hanya diucapkan, tetapi juga dihidupkan melalui tubuh dan keberanian.
