
Purwokerto – Setiap kali iklan Indomie muncul di layar televisi, kalimat “Indomie, Seleraku” hampir selalu ikut terucap di benak penontonnya. Singkat, sederhana, tetapi entah mengapa terasa begitu akrab di telinga. Kalimat tersebut bukan hanya sekadar slogan, melainkan bagian dari identitas yang membuat Indomie berbeda dari produk lain.
Tagline ini mulai dikenal sekitar tahun 2010, bertepatan dengan peluncuran varian Indomie Jumbo dan beberapa varian rasa baru. Sejak saat itu, kata “seleraku” melekat erat dalam berbagai iklan, kemasan, hingga percakapan sehari-hari masyarakat. Tidak sedikit yang menganggap bahwa kalimat itu turut membentuk citra Indomie sebagai mi instan “selera semua orang Indonesia.”
Dari sisi kebahasaan, kata “selera” berarti rasa suka atau kecenderungan seseorang terhadap sesuatu yang dianggap enak atau cocok. Saat mendapat tambahan akhiran “-ku”, maknanya berubah menjadi lebih personal menunjukkan kepemilikan dan kedekatan. Melalui kata sederhana itu, Indomie seolah berkata, “Aku adalah bagian dari seleramu.”
Menariknya, pilihan kata ini juga memperlihatkan bagaimana bahasa dapat menanamkan rasa kedekatan emosional antara produk dan konsumen. Dalam dua kata itu, Indomie berhasil menggabungkan makna rasa, identitas, dan kebanggaan lokal. Kalimat “Indomie, Seleraku” bukan hanya menjual mi instan, tetapi juga pengalaman dan rasa yang khas bagi masyarakat Indonesia.
Lebih jauh lagi, “Indomie, Seleraku” tidak hanya menjual produk, tetapi juga menghadirkan rasa kebanggaan terhadap merek lokal. Dalam dua kata itu tersimpan pesan bahwa selera Indonesia bisa diwakilkan oleh satu merek yang tumbuh bersama masyarakatnya.
Melalui kekuatan bahasa, Indomie berhasil mengubah kata sederhana menjadi simbol kedekatan, kebanggaan, dan rasa. Sebuah bukti bahwa dalam dunia periklanan, bahasa yang tepat bisa menjadi cita rasa tersendiri.
Editor: Aisyananda Salsabila
