Purwokerto — Kegiatan volunteer atau kesukarelawanan kini semakin diminati oleh mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia. Mereka memilih terjun langsung ke masyarakat untuk membantu, berbagi, dan belajar dari kehidupan nyata. Fenomena ini menunjukkan bahwa kepedulian sosial generasi muda masih hidup dan tumbuh di tengah arus individualisme yang kian menguat.
Dalam dunia pendidikan tinggi yang kian kompetitif, kegiatan kesukarelawanan menjadi ruang bagi mahasiswa untuk berhenti sejenak dari rutinitas akademik dan menengok sisi kemanusiaannya sendiri. Di saat banyak orang berlomba mengejar prestasi akademik dan karier, para volunteer justru memilih langkah berbeda: memberi waktu, tenaga, dan hati untuk orang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Ersal dan Jalil (2024) menunjukkan bahwa mahasiswa mengikuti kegiatan volunteer karena ketertarikan dengan komunitas, dorongan internal dan eksternal, serta keinginan memperluas relasi dan pengaruh lingkungan sekitar.
Saat mahasiswa turun langsung membantu mengajar anak-anak di desa atau mengunjungi panti asuhan, mereka belajar empati tanpa teori. Pengalaman itu menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial dan memperluas pandangan tentang realitas di luar tembok kampus.
Gerakan sosial ini didukung oleh berbagai komunitas seperti Youth Volunteer Indonesia dan Involuntir sebagai wadah bagi ribuan anak muda untuk menyalurkan empati dan semangat sosial. Biasanya kegiatan dilakukan pada masa libur semester, akhir pekan, atau setelah ujian akhir. Meski waktu mereka terbatas, pelajaran yang diperoleh justru bertahan lama: tentang empati, tanggung jawab, dan rasa syukur.
Esensi dari volunteer tidak terletak pada besar kecilnya bantuan, tetapi pada semangat berbagi dan keinginan memberi dampak positif bagi sesama. Melalui kegiatan ini, mahasiswa menemukan bahwa hidup bukan hanya tentang mengejar gelar atau nilai, melainkan memberi arti bagi orang lain. Di sinilah tumbuh nilai keikhlasan, solidaritas, dan kesadaran bahwa manusia saling bergantung.
Kegiatan volunteer mengajarkan arti hidup yang sesungguhnya. Dengan membantu tanpa pamrih, mahasiswa menumbuhkan empati dan kepedulian. Dunia tidak kekurangan orang pintar, tetapi membutuhkan lebih banyak orang yang peduli. Sebab melalui tindakan kecil untuk sesama, kita menemukan makna bahwa hidup yang berarti adalah hidup yang bermanfaat.
Editor: Renada Queentanisa Istifari
