Kebanyakan orang beranggapan bahwa pesantren merupakan tempat menimba ilmu agama. Sebagian yang lainnya beranggapan bahwa pesantren hanya untuk belajar ilmu agama. Pada faktanya, pesantren memang tempat menimba ilmu agama, tetapi tidak sekadar belajar ilmu agama, namun banyak nilai-nilai lain yang dapat dipelajari di pesantren.
Ira Madan dalam karya novelnya yang berjudul Cahaya Cinta Pesantren telah mengajak pembacanya untuk melihat kehidupan pesantren dari sudut pandang yang lebih kompleks dan mendalam. Hal ini dapat memberikan pemahaman terhadap orang-orang yang belum sepenuhnya paham mengenai dimensi-dimensi kehidupan di pesantren. Pesantren, bangunan yang disinggahi oleh para santri, telah menjadi latar belakang tempat dalam novel Cahaya Cinta Pesantren. Novel tersebut menyoroti tokoh utama bernama Shila yang pada awalnya tidak minat sama sekali untuk masuk dunia pesantren. Dengan beribu alasan telah terlontarkan kepada orang tuanya untuk tidak melanjutkan pendidikan di pesantren, namun dengan sekejap, dipatahkan. Hal ini karena keinginan kuat dari orang tuanya untuk memasukkan anaknya ke pesantren agar Shila bisa sukses dunia akhirat.
Pada awalnya, Shila tidak menyukai kehidupan di pesantren, tetapi pertemuannya dengan sahabat-sahabatnya, Icut, Aisyah, dan Manda mengubah segalanya. Mereka berkumpul tentunya dari berbagai latar belakang, hingga mereka sama-sama belajar memahami dan menghargai satu sama lain. Dalam segala suka maupun duka, semua dilakukan dan dirasakan bersama-sama. Semakin lama, kekeluargaan semakin terasa. Persahabatan mereka membuat Shila akhirnya merasa nyaman di pesantren. Shila belajar banyak hal di pesantren. Segala aktivitas seperti sholat, ngaji kitab, tadarus Al-Quran, nyimak kajian kiai atau ustaz, murojaah, belajar materi pelajaran, piket, dan lain-lain sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh setiap santri, termasuk Shila yang dulunya anak malas dan sedikit nakal. Kendati demikian, ia termasuk santriwati unggul di kelasnya. Shila dalam kesempatan emasnya terpilih menjadi utusan pesantren ke Jepang untuk pelatihan belajar ke luar negeri, yang sempat menimbulkan perselisihan dengan sahabatnya Icut. Namun, mereka akhirnya menyadari bahwa persahabatan lebih penting dari segalanya. Setelah lulus dari pesantren dan menyelesaikan kuliahnya di Jepang, Shila dilamar oleh Ustaz Rifki hingga mereka pun menikah. Kehidupan setelah lulus dari pesantren pun tidak terlepas dari sahabatnya yang dulu sama-sama di pesantren. Mereka sangat menjaga silaturahmi antarsesama. Tak lama kemudian, Shila didiagnosis menderita kanker otak yang ternyata gejalanya sudah lama mengganggunya sejak di pesantren. Hingga akhirnya Shila menyuruh Ustaz Rifki untuk menikahi Manda demi anaknya sebelum ia ditakdirkan meninggal dunia.
Begitu kuat persahabatan Shila dengan teman-temannya. Inilah salah satu dimensi dari kehidupan pesantren belajar bersosialisasi. Hal ini karena semua santri hidup bersama sepanjang hari. Akan dapat menumbuhkan jiwa sosial yang kuat jika semua selalu bersama-sama layaknya keluarga. Berbagai perbedaan yang ada, terlebih setiap orang memiliki latar belakang yang berbeda, menjadi tantangan tersendiri hingga mereka berusaha untuk tetap bersatu. Proses ini tidak hanya melibatkan interaksi sehari-hari, tetapi juga tantangan yang harus dihadapi bersama, seperti kegiatan belajar, mengaji, dan berbagai kegiatan sosial. Dengan adanya perbedaan dalam budaya, kebiasaan, dan cara berpikir, santri belajar untuk beradaptasi dan menemukan kesamaan di antara mereka. Selain itu, pengalaman hidup dalam lingkungan pesantren juga membantu mereka mengembangkan empati dan toleransi. Kisah Shila dan Icut menunjukkan betapa kuatnya ikatan persahabatan yang terjalin di pesantren. Meskipun ada konflik karena kesempatan belajar di luar negeri, mereka akhirnya menyadari bahwa persahabatan lebih penting daripada ambisi pribadi. Melalui pengalaman ini, Shila dan teman-temannya tidak hanya tumbuh menjadi individu yang lebih baik, tetapi juga mampu membawa nilai-nilai persahabatan dan toleransi ini ke dalam masyarakat luas. Shila sebagai santriwati unggul menggambarkan pentingnya pendidikan dalam membentuk karakter dan kemampuan seseorang. Pengalaman belajar di pesantren dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Jepang menekankan nilai pembelajaran dan pengembangan diri. Novel ini juga menggambarkan bagaimana hubungan yang dibina di pesantren tetap berlanjut dan saling mendukung dalam kehidupan setelah lulus. Hal ini menunjukkan pentingnya silaturahmi dan komunitas dalam menghadapi tantangan hidup. Jadi, pesantren tidak hanya tentang dimensi agama dan spiritual, tetapi juga berkaitan dengan dimensi sosial, kultur, pendidikan, emosional, kesehatan, moral, dan lain-lain.