Resensi Buku: Mengulik Kehidupan Eksil Politik ‘65

Judul buku: Pulang

Penulis: Leila S. Chudori

Tebal: xiv+461 halaman

Edisi: Cetakan kedua puluh tujuh

Tahun: 2024

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Apakah kalian pernah membaca atau melihat atau mendengar tentang eksil politik? Jika tidak, buku ini rasanya cocok untuk kalian yang ingin mengetahui eksil politik tahun 65.

Sudah bukan rahasia lagi kalau Leila S. Chudori terkenal dengan karyanya yang membahas tentang sejarah politik di Indonesia. Salah satu karyanya yang terkenal membahas tentang sejarah politik Indonesia adalah Pulang. Pulang adalah novel pertama yang ditulis Leila S. Chudori pada tahun 2012. Novel ini pernah meraih penghargaan Prosa Terbaik Khatulistiwa Award 2013 dan dinyatakan sebagai satu dari 75 Notable Translation of 2016 oleh World Literature Today.

Pulang menceritakan tentang empat pilar: Dimas, Mas Nug, Risjaf, dan Tjai, yang terjebak tidak bisa pulang di negara lain. Tidak bisa pulangnya mereka ke tanah air bukan tanpa sebab, VISA mereka dicabut oleh pemerintah lantaran mereka diindikasikan memiliki hubungan dengan komunis.  Memang, pada saat itu situasi politik di Indonesia sedang memanas karena adanya Gerakan 30 September yang diduga didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Pemerintah pada waktu itu bersikap represif terhadap siapa pun yang memiliki hubungan dengan PKI.

Latar Belakang Mereka Dituduh Komunis

Mereka berempat bekerja di Kantor Berita Nusantara. Redaktur Luar Negeri Kantor Berita Nusantara, Mas Hananto dan Pemimpin Redaksi Kantor Berita Nusantara memang diketahui memiliki hubungan yang dekat dengan PKI. Mas Hananto beberapa kali melakukan korespondensi ke Peking, terkenal dengan komunis. Hal inilah yang menyebabkan Kantor Berita Nusantara dicap memiliki hubungan dengan komunis dan menjadi target buruan pemerintah orde baru. Namun, yang menjadi target tidak hanya Pemimpin Redaksi dan Mas Hananto saja, tetapi semua karyawan Kantor Berita Nusantara tak luput menjadi target, termasuk Dimas. Dimas dapat dikatakan seseorang yang netral. Artinya ia tidak memihak pihak kiri-komunis, tidak juga pihak kanan-membela pemerintah.

Latar Belakang Mereka ke Luar Negeri

Latar belakang mereka ke luar negeri adalah sebagian besar karena urusan kantor. Misalnya, Dimas, Mas Nug, dan Risjaf yang mendapat tugas dari kantor untuk pergi ke luar negeri. Beberapa hari sebelum G30S/PKI, Dimas mendapat undangan ke Santiago dari Mas Hananto. Ia diminta untuk menggantikan Mas Hananto pada acara konferensi IOJ (International Organization of Journalists). Ia pergi bersama Mas Nug ke Santiago. Risjaf diamanati oleh Kantor Berita Nusantara untuk menghadiri Konferensi Wartawan Asia-Afrika di Peking. Sementara Tjai, ia baru pergi ke luar negeri pasca-G30S/PKI. Tjai merupakan keturunan Tionghoa, ia merasa terancam setelah tragedi keji tersebut terjadi. Ia memutuskan untuk tinggal di rumah pamannya, di Singapura.

Kehidupan Empat Pilar di Tanah Asing

Mereka berempat berkumpul di Paris. Demi memenuhi kebutuhan hidup, mereka mencoba berbagai macam pekerjaan, mulai dari pegawai kantor pertanian, tukang bekam, dan sebagainya. Hingga akhirnya mereka menemukan ide untuk mendirikan restoran dengan memanfaatkan keahlian memasak yang dimiliki Dimas. Restoran mereka diberi nama Restoran Tanah Air. Restoran ini menyajikan menu makanan khas Indonesia. Pada akhrinya restoran ini mampu menghidupi mereka berempat, bahkan membantu mahasiswa Indonesia yang kuliah di Paris dengan memberikan pekerjaan kepada mereka.

Di Paris, Dimas menemukan jodohnya, Vivienne. Vivienne merupakan mantan aktivis Universitas Sorbonne, yang jatuh hati kepada Dimas pada pandangan pertama. Pernikahan mereka, dikaruniai seorang anak perempuan, bernama Lintang Utara. Memiliki ayah yang dicap sebagai komunis oleh negaranya menjadi tantangan sendiri bagi Lintang. Ia pernah sekali diajak kekasihnya, Narayana untuk menghadiri perjamuan Duta Besar Indonesia di Paris. Di sana, ia mengalami tindakan yang kurang mengenakan. Orang-orang mulai menjauh, ketika ia menyebutkan nama Suryo di belakang namanya. Ia juga mendengar istilah ‘Bersih Diri’ dan ‘Bersih Lingkungan’ yang artinya harus menjauhi diri dari siapa pun yang memiliki keterkaitan dengan PKI. Hal demikian tidak terjadi pada Lintang saja, tetapi terjadi pada anak Mas Hananto dan Mas Nug.

Restoran Tanah Air tak luput juga dari tekanan dari pemerintah. Beberapa kali restoran mereka didatangi oleh kepolisian yang menanyakan tentang keberadaan PKI. Walau pada akhirnya mereka, para polisi, menikmati juga menu restoran tanah air.

Puluhan tahun hidup di negeri asing tentu menjadi hal berat yang ditanggung oleh mereka berempat. Mereka terpaksa tidak bisa pulang ke tanah air lantaran identitas mereka yang tidak jelas. Mereka hanya bisa pulang jika kebijakan tentang hal ini dihapus. Dan kebijakan ini hanya bisa dihapus saat pemerintah otoriter orde baru tumbang.

Penutup

Buku ini cukup menarik untuk dibaca, terutama bagi kalian yang suka membaca novel sejarah. Penggunaan gaya bahasa yang jelas dan lugas menjadikan novel ini enak dibaca. Banyaknya penggunaan bahasa asing dan alur yang bervariasi pada novel ini saya kira akan sedikit menjadi tantangan, khususnya bagi pembaca pemula.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *