Di masyarakat Banyumas, larangan untuk tidak keluar malam masih sering didengar hingga kini. Larangan ini merupakan bagian dari gugon tuhon, tradisi lisan berupa nasihat atau pantangan yang diwariskan dari leluhur. Gugon tuhon seringkali dibalut dengan mitos untuk menyampaikan pesan moral atau keselamatan.
Larangan keluar malam di Banyumas memiliki akar sejarah. Konon, puluhan tahun lalu, seorang tokoh penting di wilayah ini mengalami kecelakaan fatal saat bepergian pada malam hari. Peristiwa tersebut meninggalkan trauma mendalam di kalangan masyarakat. Untuk mencegah kejadian serupa, leluhur menetapkan larangan ini, yang disampaikan dengan pendekatan simbolis dan mistis agar lebih mudah diterima oleh generasi berikutnya.
Gugon tuhon sendiri sering kali tidak dijelaskan secara logis, seperti larangan “jangan duduk di bantal, nanti bisulan,” atau “jangan buang ludah di sumur, nanti bibir pecah.” Meski demikian, di baliknya ada pesan tersirat, seperti menjaga kebersihan dan kesehatan. Larangan keluar malam juga memiliki makna serupa, yaitu kehati-hatian, terutama pada zaman dahulu saat jalanan gelap dan rawan bahaya.
Meski kini jalan sudah lebih terang dan keamanan lebih terjamin, larangan ini tetap relevan sebagai bentuk pengingat untuk tidak bepergian sembarangan tanpa alasan yang jelas. Selain itu, unsur mistis yang melekat pada gugon tuhon membuat nilai tradisi ini tetap terjaga sebagai bagian dari identitas budaya Banyumas.
Tradisi gugon tuhon menunjukkan bagaimana leluhur Jawa menggunakan pendekatan unik untuk menjaga harmoni sosial. Sejarah di baliknya menjadi bukti bahwa mitos dan nasihat sering kali berakar pada kejadian nyata, menjadikannya warisan budaya yang tidak hanya menarik tetapi juga bermakna bagi generasi masa kini.