Ketika Mimpi Tidak Diizinkan: Potret Kemiskinan Struktural dalam Novel Welcome Nathan

Purwokerto — “Punya cita-cita itu cuma buat orang-orang yang beruntung.” Sebuah ujaran dari seorang anak jalanan bernama Amar dalam novel Welcome Nathan karya Erisca Febriani. Ungkapan itu merangkum pergulatan dari lima siswa SMA Bakti Jaya yang hidup dalam belenggu kemiskinan struktural. Batasan yang hadir bukan karena pilihan, tetapi karena sistem yang membuat mereka selalu memulai dari titik paling rendah. Novel ini memperlihatkan bahwa dalam dunia yang katanya memberi kesempatan yang setara, tidak semua anak benar-benar diberi ruang untuk bermimpi. 

Berlatar di pinggiran Jakarta, Welcome Nathan mengangkat wajah pendidikan Indonesia yang mengalami ketimpangan. SMA Bakti Jaya, sekolah yang dicap sebagai sekolah “buangan” menjadi simbol bagaimana kualitas pendidikan sering ditentukan oleh status sosial. Di sekolah ini lima tokoh dari keluarga ekonomi bawah yaitu Danu, Amar, Galih, Sekar, dan Icha yang berjuang bukan hanya untuk nilai, tetapi untuk sekadar bertahan. Mereka lahir dan tinggal di lingkungan yang menguji fisik, mental, jauh dari ruang belajar yang nyaman dan tenang, bahkan kebutuhan paling dasar mereka belum terpenuhi. Novel ini menempatkan mereka bukan sebagai karakter pinggiran, tetapi sebagai cermin dari kenyataan sosial yang selama ini sering diabaikan.

Danu yang harus belajar dalam situasi serba kurang setelah ayahnya meninggal dan ibunya bekerja tanpa henti di rumah orang. Amar, anak yang tumbuh tanpa mengetahui identitas orang tuanya dan hidup di jalanan yang keras tanpa perlindungan siapa pun. Galih hidup dari pendapatan yang tidak pasti, ayahnya bekerja sebagai ojek online, sementara ibunya berjualan di rumah. Sekar tinggal di kolong jembatan bersama nenek dan pamannya yang terjerat judi serta alkohol. Icha hidup di TPA, menghadapi polusi, bau limbah, dan kondisi lingkungan yang menggerus kesehatan serta konsentrasinya. Lima tokoh ini tidak dibentuk untuk menimbulkan belas kasih, mereka adalah representasi nyata anak-anak yang belajar, tumbuh, dan bermimpi di tengah keterbatasan yang sistematis. 

Puncak ketidakadilan tergambar ketika SMA Bakti Jaya terancam ditutup oleh dinas pendidikan. Bukan karena mutu, tetapi karena stigma bahwa sekolah ini “tidak layak”. Lima siswa itu diberi syarat untuk ikut olimpiade dan wajib lolos hingga final agar sekolah mereka tetap ada. Mereka berhasil mencapainya, namun tetap didiskualifikasi tanpa alasan yang jelas. Penutupan sekolah yang tiba-tiba, diskualifikasi yang tidak transparan, dan penghapusan ruang belajar mereka menunjukkan bahwa prestasi tidak cukup untuk menembus dinding prasangka kelas sosial.

Ketika mereka melakukan demonstrasi damai sambil membawa bukti dan tuntutan rasional, suara mereka tidak pernah diterima. Pintu gerbang dinas pendidikan tertutup rapat, seolah nasib anak-anak miskin bukan urusan negara. Lebih jauh lagi, mereka difitnah sebagai perusuh yang merusak fasilitas, padahal mereka hanya menuntut hak mereka yaitu  pendidikan yang adil. Dari rangkaian peristiwa itu tampak jelas bahwa kemiskinan mereka bukan hanya soal kekurangan materi, tetapi soal struktur yang membungkam, mengecilkan, dan menyingkirkan mereka sejak awal.

Melalui perjalanan lima anak ini, Welcome Nathan menghadirkan kritik sosial yang tajam bahwa kelayakan masa depan seorang anak sering ditentukan oleh kelas sosial tempat ia lahir, bukan oleh usaha atau prestasinya. Novel ini membuka ruang refleksi bahwa cita-cita, bagi banyak anak miskin, bukan sekadar impian yang sulit diraih, tetapi sesuatu yang memang tidak pernah disediakan oleh sistem. Ketika Amar berkata bahwa mimpi hanyalah untuk mereka yang beruntung, itu bukan pesimisme, melainkan kebenaran pahit yang lahir dari pengalaman hidup. Pada akhirnya, novel ini adalah pengingat bahwa kemiskinan struktural tidak hanya mematahkan kesempatan, tetapi juga suara dan harapan.

Editor: Alvina Putri Rustanti

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *