Perdebatan mengenai batasan imajinasi dalam karya fiksi kembali mencuat di media sosial. Banyak yang meyakini bahwa penulis dibatasi oleh logika, tetapi hingga kini belum ada penelitian yang secara gamblang menyebutkan batasan tersebut. Lalu, seberapa jauh penulis dapat mendorong kreativitas mereka tanpa terikat oleh realitas?
Perbincangan mengenai batasan imajinasi dalam karya fiksi pernah dibahas di banyak platform, khususnya di X (Twitter). Diskusi ini diawali dari sebuah utas yang mempertanyakan apakah dalam menulis seorang penulis fiksi memiliki batasan.
Dalam fiksi, penulis memiliki kebebasan untuk menciptakan dunia, karakter, dan konflik yang jauh dari kenyataan. Namun, muncul pertanyaan, apakah imajinasi ini memiliki batas? Bagi sebagian penulis dan pembaca, logika dianggap sebagai batas dalam cerita. Misalnya, meskipun cerita berlatar di dunia fantasi, pembaca cenderung berharap agar aturan dunia tersebut tetap konsisten dan logis.
Salah satu pengguna X (twitter) yang ikut dalam perbincangan menyatakan, “Kalau dari mata kuliah yang saya pelajari, fiksi gak berbatas. Hanya saja, setiap cerita fiksi mempunyai jalan dan logikanya masing-masing di setiap latar setting atau dunia fiksi tersebut. Logika fiksi yang tepat, akan membuat suatu cerita dapat terhindar dari plot hole. Saya bilang gak ada batasnya karena sejatinya cerita fiksi itu ya imajinatif. Penulis bisa sebebas-bebasnya menuangkan segala idenya. Aturan aturan yang mengikat tuh Cuma aturan intrinsik penulisan cerita rekaan (plot, alur, tokoh penokohan, latar, tema, sudut pandang). Kesimpulan: lebih tepat kalau dikatakan fiksi itu memiliki logika di semestanya sendiri daripada fiksi memiliki batas.”
Yang kemudian ditanggapi oleh pengguna lain, “Jadi sebenernya fiksi itu tidak terbatas, yang terbatas itu adalah tingkat acceptance orang orang dalam konsumsi fiksi tersebut gk sih? Sekiranya mau diterima dan dinikmati orang lain perlu dirasionalisasikan agar gk ada plot hole dan norma/social constructnya diterima.”
Bermacam-macam pendapat pengguna ada di sana. Namun, hingga saat ini, tidak ada penelitian ilmiah yang secara spesifik membatasi ruang imajinasi dalam karya fiksi. Penulis tetap memiliki kendali penuh atas apa yang mereka ciptakan, dan kebebasan ini sering kali menjadi daya tarik utama dari fiksi. Meski begitu, konsistensi cerita dan logika internal dalam dunia yang dibangun penulis kerap menjadi faktor penentu keberhasilan sebuah karya.
Banyak penulis fiksi ternama, J.K. Rowling—sang penulis novel Harry Potter, dikenal karena kemampuannya menciptakan dunia fantasi yang kompleks dan penuh imajinasi, tetapi tetap mempertahankan aturan yang logis dalam dunia tersebut. Ini membuktikan bahwa, meskipun imajinasi sangat luas, ada semacam logika internal yang mengikat cerita agar tetap dapat dinikmati oleh pembaca.
Sementara itu, diskusi mengenai batasan imajinasi dalam fiksi terus berlanjut. Penulis dan pembaca sama-sama menantikan apakah ada penelitian atau pendapat ahli yang dapat menjawab dengan lebih jelas tentang batasan tersebut. Namun, satu hal yang pasti: imajinasi adalah kekuatan utama dalam fiksi, dan setiap karya memiliki aturannya sendiri.
Perdebatan ini membuka peluang untuk penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana logika berperan dalam karya fiksi. Apakah logika menjadi batas mutlak yang harus dipatuhi, atau justru kebebasan imajinasi tanpa batas yang menjadi esensi dari fiksi? Pertanyaan ini masih terus menjadi bahan diskusi di kalangan penulis dan pembaca.