Foto: (Dokumentasi https://pin.it/24oZWKaKF)
Banyumas — Seni ebeg kembali menjadi sorotan setelah Grup Seni Ebeg Lengger Wahyu Langen Sari menegaskan komitmennya untuk melestarikan kesenian tradisional yang diwariskan turun-temurun. Dalam wawancara dengan pemimpin grup, Ahmad Suwardi, terungkap bagaimana seni ebeg—yang identik dengan pertunjukan kuda lumping—tetap bertahan di tengah perkembangan zaman.
Menurut Ahmad Suwardi, kuda lumping adalah inti dari seni ebeg yang menampilkan tarian menggunakan kuda anyaman bambu. “Kesenian ini warisan nenek moyang, mengandung sejarah dan makna yang tidak boleh hilang,” jelasnya.
Pertunjukan Wahyu Langen Sari memadukan kuda lumping dengan musik campursari, menciptakan suasana yang meriah dan penuh energi. Kolaborasi ini membuat setiap pementasan menjadi lebih dinamis dan dekat dengan masyarakat.

Seni ebeg biasanya hadir di acara besar desa maupun undangan dari berbagai wilayah. “Kalau ada hajatan atau undangan dari desa lain, kami tampil. Masyarakat memang selalu menantikan seni ini,” ujar Suwardi. Grup seni ini telah tampil di Bandung, Tegal, hingga Cilacap. Undangan tersebut menunjukkan bahwa seni ebeg masih memiliki tempat istimewa di hati masyarakat, bahkan di luar daerah asalnya.
Figur penting dalam grup
Dua sosok yang memberi warna besar dalam pertunjukan adalah Gonel dan Aziz Pranowo. Keduanya dikenal luas karena kelucuan dan kemampuan melawak, sehingga memiliki banyak penggemar setia. Ahmad Suwardi menegaskan pentingnya menjaga tradisi. “Karena peninggalan nenek moyang tidak boleh ditinggalkan, harus dilestarikan. Tradisi dari kakek-kakek saya dulu tidak boleh punah begitu saja,” ujarnya.
Ia adalah pemimpin Grup Seni Ebeg Lengger Wahyu Langen Sari, kini berusia 60 tahun dan telah mengabdikan hidupnya pada pelestarian seni tradisi.
Melalui dedikasi puluhan tahun, Suwardi dan kelompoknya berhasil menjaga seni ebeg tetap hidup dan dicintai, menjadi bukti bahwa warisan budaya masih mampu berdiri kokoh di tengah perkembangan zaman.
Editor: Nazwa Oktavianita
