Di tengah modernisasi yang semakin pesat, tradisi sesajen masih kokoh bertahan di wilayah Indonesia khusunya di daerah Jawa. Sesajen merupakan salah satu ritual kebudayaan yang telah lama hidup. Sesajen identik dengan ritual yang dipersembahkan untuk leluhur atau makhluk gaib lainnya dan juga dianggap sebagai sedekah. Dalam setiap acara hajatan atau upacara adat, masyarakat Jawa tidak pernah meninggalkan rangkaian sesajen yang disebut ‘Cok Bakal’, misalnya pada upacara menantu, mendirikan rumah, tahlilan, dan sebagainya.
Menurut Ki Jemblung Agung, beberapa jenis makanan yang dihidangkan di dalam sesajen, antara lain buah pisang yang melambangkan pengharapan kepada tuhan dan kelapa yang bermakna sebagai pengingat cikal bakal kehidupan di dunia, yakni leluhur. Begitupun dengan bunga-bungaan, yaitu ada bunga kantil yang berarti setiap orang harus memiliki kemantapan hati, bunga kenanga yang berarti setiap hidup akan mendapatkan banyak ujian dan cobaan, namun harus tetap memiliki prinsip dan pegangan hidup agar tidak mudah goyah, dan bunga mawar yang berarti bahwa setiap langkah hidup pasti akan berakhir bahagia dan berwarna. Satu lagi yang tidak boleh ketinggalan yaitu daun sirih yang berarti pengetahuan. Selain makanan dan bunga-bungaan, dalam sesajen juga terdapat aneka minuman seperti air putih, kopi, dan teh.
“Isian sesajen itu tidak mutlak, tergantung acara yang diselenggarakan, biasanya makanan atau minuman yang ada dan bukan makanan yang biasa, akan dimasukkan ke dalam sesajen.” Ujar Eyang Kamari, salah satu masyarakat Banyumas yang diakui kepintarannya oleh orang-orang disekitarnya.
Pengadaan sesajen ini tergantung pada kepercayaan masing-masing. Ada yang mempercayainya ada pula yang tidak. Meski sering terjadi perbedaan pendapat mengenai makna dan tujuannya, sesajen tetap menjadi bagian tak terpisahkan bagi sebagian besar masyarakat Jawa.