Tari lengger mungkin sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Banyumas. Tarian ini bisa dikatakan sebagai wujud budaya lintas gender sebab biasanya dibawakan oleh penari laki-laki yang berdandan menyerupai perempuan. Tentunya hal itu menjadi daya tarik tersendiri dari tari lengger dengan jenis tarian lainnya yang kebanyakan dibawakan oleh penari wanita tulen. Namun, seiring berjalannya waktu tarian ini sudah mulai terlupakan dan keberadaannya kian tergerus zaman. Generasi muda saat ini kebanyakan lebih memilih menjadi penikmat ketimbang ikut serta melestarikan tarian ini.
Yusuf Margianto, pemuda kelahiran 6 Maret 2005 yang merupakan salah satu pelaku seni lengger lanang. Pemuda yang akrab disapa Ucup itu telah menekuni lengger lanang sejak tahun 2019 ketika dia masih duduk di bangku SMK. Bakat yang mengalir dalam dirinya ternyata diturunkan dari keluarganya yang memang sebagian besar adalah pekerja seni mulai dari dalang, pemain ebeg/kuda lumping hingga sinden.
Kegemarannya terhadap seni sudah terlihat sejak putra tunggal Juminah itu masih kecil yang sudah tertarik dengan seni tari. Berlanjut saat kelas 4 SD, Yusuf mulai berlatih di salah satu sanggar tari di lingkungan tempat tinggalnya, Purwojati. Dia mengasah bakat dan kelihaiannya dalam menari di sana. Sisi otentik tari tradisional serasa memiliki ruang tersendiri di hatinya dibanding tari modern yang kekinian. Nyatanya tari tradisional seringkali menjadi ciri khas dan identitas yang mewakili tiap daerah. Begitu pula dengan tari lengger yang dapat menjadi ikon seni tari khas Banyumas serta pembeda dengan daerah lain yang ada di Jawa Tengah.
Perjalanan Yusuf menjadi penari lengger ternyata tidak selalu berjalan mulus. Kerapkali dia harus menghadapi ejekan dan pandangan sebelah mata dari orang-orang di sekitarnya yang beranggapan bahwa menari tidaklah diperuntukkan untuk laki-laki. Meskipun sempat merasa minder, ditepisnya semua anggapan-anggapan itu. Dia mulai memantapkan diri untuk terus mengasah dan menggali potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Pemuda 19 tahun itu juga merupakan salah satu dari sekian banyak seniman yang menjadi pengagum maestro lengger lanang yakni Mas Rianto yang berjasa besar dalam memperkenalkan tari lengger hingga ke mancanegara. Itulah mengapa dia merasa terinspirasi dan akhirnya memutuskan fokus untuk mendalami lengger. Berangkat dari keprihatinan bahwa generasi muda saat ini kebanyakan enggan untuk nguri-uri budaya (mempelajari dan melestarikan budaya) juga menjadi salah satu faktor pendorong yang semakin membuatnya yakin untuk menjadi penari lengger lanang Banyumasan. Kedua orang tua Yusuf mendukung penuh keinginan anak semata wayang mereka itu selama tidak merubah kodrat yang sudah ada. Dengan kata lain, berpenampilan seperti perempuan hanya saat pentas saja. Berbagai event/acara seperti halnya pementasan seni, peringatan hari jadi Banyumas dan gebyar tari sudah berulang kali dia ikuti.
Melansir dari percakapan via telepon, Yusuf mengaku bahwa kebanyakan hobinya pun tak jauh-jauh dari bidang seni. Bersekolah di SMK Tata Busana, dia menyalurkan minatnya terhadap seni menggambar melalui desain-desain fashion yang dibuatnya. Tak puas sampai di situ saja, dia lalu mendirikan usaha jasa make-up di samping wara-wiri pentas ke sana-kemari. Selain itu, dia juga sedang menjalani masa studi sebagai salah satu mahasiswa aktif S1 Ilmu Administrasi Bisnis di Universitas Terbuka Purwokerto.
Yusuf berharap untuk sesama generasi muda agar tidak malu nguri-nguri budaya daerah tekhusus tari lengger Banyumasan supaya tetap lestari dan tidak hilang begitu saja sehingga dapat dinikmati hingga generasi di masa mendatang.
“Semoga makin banyak teman-teman yang tergerak untuk lebih peduli dengan budaya dan seni Banyumasan karena dari situ kita dapat belajar mengenai pentingnya untuk menghargai perbedaan.” ucap Yusuf melalui sambungan telepon.