Banyumas – Tradisi pantangan melewati Kali Dewana masih dipegang teguh oleh masyarakat di beberapa desa sekitar Kembaran ketika melaksanakan acara pernikahan maupun lamaran. Dalam tradisi ini, rombongan pengantin tidak diperkenankan melintasi aliran sungai pada hari berlangsungnya hajatan sehingga perjalanan menuju rumah calon mempelai harus ditempuh melalui jalur memutar.
Menurut Fathoni (55), salah satu warga yang memahami tradisi tersebut, ketentuan ini diwariskan turun-temurun dan dipatuhi sebagai bagian dari tata cara yang dianggap membawa keselamatan selama prosesi berlangsung. “Selama hari hajatan, rombongan tidak boleh lewat sungai sehingga harus memutar sesuai rute yang sudah biasa digunakan,” ujarnya.
Aturan ini berlaku sepanjang rangkaian acara, baik pada pagi maupun malam hari, dan diterapkan tanpa membatasi siapa saja yang dapat mengikuti rombongan. Warga yang ingin turut mengantar diperbolehkan hadir, baik dengan kendaraan maupun berjalan kaki, meskipun jalur memutar umumnya lebih mudah ditempuh menggunakan kendaraan. Rute perjalanan dapat berbeda bergantung pada desa asal, seperti rombongan dari Purbadana menuju Bojongsari yang harus melewati Purwodadi, Lemberang, Klahang, Sokaraja, hingga Pliken sebelum kembali menuju arah tujuan tanpa menyeberangi Kali Dewana. Pola rute yang sama berlaku pula untuk perjalanan sebaliknya, sehingga masyarakat telah hafal jalur mana yang aman dilalui saat hajatan berlangsung.
Selain aturan rute, beberapa keluarga memilih mengawali perjalanan dengan doa atau pembacaan tertentu sebagai bentuk permohonan keselamatan. Kebiasaan ini menjadi bagian dari praktik budaya yang menyertai pantangan dan terus diwariskan oleh warga setempat. Tradisi tersebut berakar dari kisah lama mengenai peristiwa kecelakaan yang diyakini terjadi ketika sebuah rombongan pengantin melanggar pantangan dengan menyeberangi sungai pada hari hajatan. Cerita tersebut kemudian menguatkan keyakinan masyarakat bahwa lintasan sungai sebaiknya dihindari demi menjaga kelancaran prosesi pernikahan.
Hingga kini, pantangan melewati Kali Dewana tetap dijalankan sebagai bentuk penghormatan terhadap adat dan kearifan lokal, meskipun di luar kegiatan pernikahan masyarakat dapat melintas dengan bebas tanpa pembatasan apa pun. Bagi warga, tradisi ini bukan sekadar aturan perjalanan, melainkan simbol kehati-hatian sekaligus penghormatan terhadap nilai-nilai yang telah dijaga sejak lama. Melestarikan tradisi berarti menjaga ikatan sosial, menghormati leluhur, dan memastikan prosesi pernikahan berlangsung dengan penuh harapan baik bagi kedua mempelai dan keluarga besar.
Editor: Miftakhul Sholehah
