Spektrum Waktu: Ketika Detik Menemukan Wajahnya

Dokumentasi: Khanifah Zulfi

PurwokertoWaktu kerap melintas tanpa suara dan bergerak pelan, meninggalkan jejak yang sering kali luput dari perhatian. Namun, dalam Pameran Fotografi “Spektrum Waktu”, waktu tidak dibiarkan berlalu begitu saja, melainkan dihentikan sejenak, dibingkai, lalu dihadirkan kembali sebagai cerita. Pameran ini diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) pada 10–12 Desember 2025 di pelataran Aula Bambang Lelono.

Selama tiga hari, pelataran aula menjelma menjadi lorong kenangan. Foto-foto tersusun rapi, masing-masing menyimpan potret kehidupan yang berbeda. Ada wajah siswa SMA yang tekun belajar, ada sorot mata anak yang melantunkan ayat-ayat suci, dan ada kelelahan yang tergambar di tubuh para pekerja. Di antara itu semua, tarian turut dihadirkan sebagai bahasa lain. Sebuah gerak yang berbicara tanpa suara.

Kamera para fotografer berperan sebagai penutur cerita. Mereka tidak sekadar menangkap rupa, tetapi merawat rasa. Setiap potret mengajak pengunjung untuk sejenak berhenti, memperlambat langkah, dan membiarkan pikirannya mengembara. Melalui bingkai-bingkai tersebut, kehidupan tampil apa adanya, rapuh, sekaligus bermakna.

Dokumentasi: Khanifah Zulfi

Seorang pengunjung bernama Ika merasakan hal serupa. “Menurut saya, pameran fotografi ini mengusung tema yang menarik. Di dalam pameran ini terdapat banyak potret kehidupan, mulai dari kisah belajar siswa SMA, anak yang sedang mengaji, para pekerja, hingga seni seperti menari,” tuturnya pelan.

Baginya, kekuatan pameran ini terletak pada cara foto-foto itu berbicara. “Foto-foto yang terpajang memiliki nilai estetika yang kuat dan melalui foto-foto tersebut kita bisa melihat gambaran kehidupan yang mungkin jarang kita temui,” lanjut Ika. Kata-katanya seolah menegaskan bahwa fotografi tidak hanya soal cahaya dan sudut pandang, melainkan tentang keberanian melihat yang tersembunyi.

“Spektrum Waktu” tidak memaksa pengunjung untuk sepakat dalam satu tafsir. Setiap orang diberi ruang untuk memaknai karya sesuai pengalaman masing-masing. Ada yang merasakan nostalgia, ada yang merasa digugat, ada pula yang sekadar belajar untuk lebih peka. Melalui rangkaian foto tersebut, waktu terasa lebih manusiawi, dekat dan dapat dirasakan secara nyata.

Pada akhirnya, pameran ini mengingatkan bahwa hidup terdiri atas momen-momen kecil yang layak untuk dikenang. Melalui medium fotografi, detik-detik itu tidak hanya didokumentasikan, tetapi juga disampaikan kepada publik. Dan di sanalah waktu, untuk sesaat menemukan wajahnya.

Editor: Rimanda Sahya Citharesmi

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *